Mengakarrumputkan Perlindungan Anak ke RT/RW

Mengakarrumputkan Perlindungan Anak ke RT/RW
UDARA seketika terasa pengap menyusul kehebohan aksi monster pedofilia di Tangerang. Seorang oknum guru honorer memangsa secara seksual 41 siswa. Hampir menyamai oknum guru lainnya di Pulau Legundi, di tengah laut lepas Teluk Lampung, yang melecehkan lima puluhan anak didiknya. Semakin sesak dalam napas, kedua peristiwa jahat itu berdekatan dengan video mesum anak-anak yang dilakukan secara terorganisasi di Bandung.

Upaya mengarusutamakan perlindungan anak sebagai agenda nasional telah terlihat sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap Anak pada tahun 2014 silam. Melalui inpres tersebut, seluruh kementerian dan lembaga dikerahkan untuk bekerja dalam skala besar mengatasi kejahatan seksual para pemangsa anak-anak di Indonesia.

Pekerjaan rumahnya, siapa pemangku kepentingan dan bagaimana mengakarrumputkan perlindungan anak ke segenap komponen masyarakat hingga unit terkecilnya, yakni keluarga?

Apabila Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo dijadikan sebagai pedoman, otoritas penegakan hukum berada di garda terdepan perlindungan anak. Itu merupakan konsekuensi karena berdasarkan Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental, program menjadikan rumah dan sekolah sebagai basis penciptaan lingkungan nirkekerasan dan ramah anak ditempatkan di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

Meski demikian, perlu dipahami bersama bahwa perlindungan anak pada kenyataannya tidak melulu urusan menangkal predator seksual. Perlindungan anak bukan ihwal kejahatan saja. Dengan kata lain, urusan ini tidak terkunci sebagai isu politik, hukum, dan keamanan semata. Perlindungan anak meliputi masalah-masalah yang jauh lebih luas lagi, seperti akta kelahiran, pemberian imunisasi, pencegahan pernikahan dini, pertahanan menghadapi orientasi seksual menyimpang (LGBT), dan pencegahan perekrutan anak oleh kelompok kekerasan.

Persoalan Multidimensional

Perlindungan anak ialah pencurahan upaya menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk merealisasikan hak-hak anak. Menjadi jelas, dengan cakupan persoalan multidimensional seperti ini, niscaya tidak realistis bila lembaga penegakan hukum seperti kepolisian menjadi aktor tunggal. Jumlah personel kepolisian juga memberikan alasan bagi perlunya perlibatan pemangku kepentingan lain guna menyukseskan program pengakarrumputan perlindungan anak.

Gambarannya seperti ini. Sampai sekarang, unit kerja perlindungan anak di institusi Polri baru ada sampai di tingkat kabupaten/kotamadya, yaitu kepolisian resor (polres). Data laman resmi Polri, jumlah polres se-Indonesia hampir lima ratus satuan. Apabila aparat Polri di tingkat desa atau kelurahan juga dapat diandalkan untuk melaksanakan kerja perlindungan anak, per tahun 2015 terdapat 62 ribu petugas Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas).

Pada tahun yang sama, terdapat 80-an ribu desa di seluruh Indonesia. Jadi, hampir 20 ribu desa dan kelurahan di Indonesia seolah tak diamankan polisi yang seharusnya bertugas mengunjungi mereka secara berkala. Dalam rentang waktu yang sama, Profil Anak Indonesia pada 2015 menunjukkan anak Indonesia berumur 0—17 tahun mencapai 82,85 juta jiwa.

Satu personel Polri harus memantau seribuan anak ialah kerja mustahil. Sulit dibantah, terlalu berat kiranya memfungsikan personel Babinkamtibmas sebagai personel terdepan dalam perlindungan anak. Apalagi, sesuai sebutannya, keamanan dan ketertiban tidak hanya berkaitan dengan persoalan anak belaka. Dengan mempertimbangkan angka-angka di atas, diperlukan gagasan besar agar agenda pengakarrumputan perlindungan anak benar-benar dapat mengenai sasaran hingga unit keluarga.

Dibutuhkan kerja serius agar tidak ada lagi pintu-pintu yang tertutup rapat dan di dalamnya terdapat anak-anak yang teraniaya, dengan alasan anak ialah milik orang tua dan masalah anak ialah masalah domestik. Semakin mendesak kebutuhan akan unit kerja yang selalu siap sedia memantau kehidupan anak sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajiban mereka menjamin pemenuhan hak-hak anak.

Apalagi, karena kini sudah ada kartu anak Indonesia, perangkat tersebut bisa memaksimalkan sosialisasi pemanfaatan kartu itu bagi penyejahteraan anak hingga ke wilayah paling pelosok di Tanah Air. Untuk maksud tersebut, sejak sekitar lima tahun silam saya dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (yang saat itu masih bernama Komnas Perlindungan Anak) gencar berupaya meyakinkan masyarakat akan perlunya seksi-seksi/satgas perlindungan anak hingga ke tingkat rukun tetangga (RT).

Seksi/satgas perlindungan anak ini merupakan perluasan setelah sebelumnya masyarakat mempunyai seksi keamanan, seksi kebersihan, seksi kerohanian, seksi ketertiban, dan berbagai seksi urusan warga RT lainnya.

Sangat Potensial
Mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7/1983, rukun tetangga merupakan perkumpulan warga yang diakui dan dibina pemerintah untuk melestarikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan, serta untuk membantu meningkatkan kelancaran tugas pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di desa dan kelurahan.

Saat saya menyusun tulisan ini, http://www.data.go.id sedang dalam perbaikan. Akibatnya, jumlah resmi mutakhir RT se-Indonesia belum dapat diketahui. Terlepas dari itu, di wilayah DKI Jakarta saja per tahun 2016 terdapat 30.727 unit RT. Jika itu dijadikan asumsi, di 33 provinsi se-Indonesia terdapat tak kurang dari 1.013.991 juta RT. Itu berarti terdapat seksi perlindungan anak dalam jumlah yang sama. Sementara itu, tidak ada satu pun kementerian dan lembaga dengan penetrasi sedemikian dalam ke pelosok dan berjumlah sebanyak itu!
Seksi perlindungan anak dalam jumlah sedemikian besar tentu sangat potensial untuk diandalkan. Tidak hanya dahsyat dari segi kuantitas, secara kualitas pun seksi perlindungan anak di tingkat RT itu berisi orang-orang yang diasumsikan paling mengenal masyarakat dan dinamika kemasyarakatan di wilayah mereka masing-masing.

Kedekatan antara pengurus seksi perlindungan anak dan setiap rumah juga akan mempercepat pemberian respons-respons cepat tanggap terhadap situasi berisiko bagi anak. Melalui seksi perlindungan anak di tingkat RT inilah, kiranya slogan “melindungi anak perlu orang sekampung” dapat menemukan kenyataannya. Semoga.

Gaya Kepemimpinan yang Didambakan Rakyat

Gaya Kepemimpinan yang Didambakan Rakyat

 KEPEMIMPINAN merupakan suatu instrumen yang penting dalam segala aspek kehidupan berbangsa dalam menentukan arah dan kemajuan suatu bangsa sebagaimana yang diamanatkan konstitusi suatu negara. Pencapaian tujuan suatu negara ditentukan gaya dan kualitas pribadi pemimpinnya. Seorang pemimpin diharapkan selalu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi negaranya. Kepemimpinan lekat dengan gaya kepemimpinan karena gaya kepemimpinan berkaitan dengan kualitas interaksi dinamis antara seorang pemimpin dan masyarakat.

Berkaitan dengan gaya kepemimpinan, seorang pemimpin bisa saja menjadi seorang otoriter. Sebaliknya, ia bisa saja menjadi seorang demokratis. Hal ini bergantung pada bagaimana seorang pemimpin memaknai nilai kepemimpinan di tengah-tengah kekuasaan, kewibawaan, dan konsistensinya. Seorang pemimpin harus dapat menerapkan nilai yang diyakini itu dalam kepemimpinannya.

Sebagai contoh, penerapan nilai kepemimpinan ketika seorang pemimpin yang takut kepada Tuhan akan berupaya melayani masyarakatnya dengan tulus dan ikhlas sehingga masyarakat akan selalu memercayai dan mematuhi segala perintah pemimpin itu tanpa syarat. Pemimpin yang melayani dapat menginspirasi masyarakatnya berpartisipasi aktif dalam segala kegiatan yang mengarah kepada pencapaian tujuan bersama.
Selain nilai kepemimpinan di atas, seorang pemimpin yang ideal juga harus memiliki etika moral yang baik dan bijaksana untuk digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan amanah kekuasaan yang diembannya. Raja Sulaiman merupakan contoh seorang pemimpin yang paling berkhidmat di bumi ini dan tidak akan pernah muncul lagi seorang raja seberkhidmat dia.

Memang, untuk mencari seorang pemimpin berkriteria seperti di atas sangat susah menemukannya. Namun, kita tidak boleh berputus asa mengupayakan agar muncul seorang pemimpin yang berkarakter unggul, berkhidmat, melayani, serta takut kepada Tuhan. Semua hal itu berguna bagi seorang pemimpin dalam mengelola dan menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi.

Semua permasalahan yang muncul masa kini semakin pelik karena dipicu percepatan revolusi teknologi informasi generasi kelima. Dampak perubahan teknologi informasi itu dahsyat karena telah banyak mengubah tatanan bermasyarakat dan bernegara yang telah mapan sebelumnya.

Pemimpin zaman turbulensi sekarang ini sudah jauh lebih sulit dalam menjalankan amanatnya sebagai pemimpin dalam suatu negara. Banyak permasalahan yang tadinya tidak pernah eksis bisa menjadi masalah sekarang ini. Suatu masalah kecil bisa saja menjadi masalah besar skalanya. Berbeda dengan pemimpin zaman sebelumnya, yakni tantangan, lingkungan, dan penanganannya juga sangat berbeda.

Gaya Presiden
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Presiden Jokowi banyak menghadapi gempuran dari berbagai aspek. Namun, Presiden dapat meredamnya dengan gaya dan pendekatan kepemimpinan yang sangat khas dan berbeda dengan presiden sebelumnya. Presiden Jokowi merupakan tipe pemimpin situasional yang mau dengan gigih membelajar dari berbagai situasi dan kondisi.

Awalnya, Presiden Jokowi terlihat terkaget-kaget dalam menangani berbagai permasalahan yang muncul. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan proses belajar yang terus-menerus, kelihatannya Presiden Jokowi telah mulai percaya diri, tenang, dan taktis dalam menangani segala tata kelola pemerintahan. Presiden Jokowi proaktif mencarikan ide kreatif dan inovatif sebagai solusi yang tepat dalam rangka perbaikan kehidupan masyarakat.

Hasil kerja keras Presiden Jokowi itu telah diapresiasi publik, terbukti dengan hasil survei Litbang Kompas 8 Oktober 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 70,8% masyarakat merasa puas dengan kinerja pemerintahan selama tiga tahun terakhir. Namun, Presiden Jokowi perlu juga mewaspadai hasil survei Median bahwa Presiden Jokowi hanya mendapatkan 36,2% suara apabila dilakukan pilpres pada tanggal 2 Oktober 2017. Namun, dia masih tetap menjadi kandidat terkuat presiden periode 2019—2024.
Presiden Jokowi tetap tegas dan konsisten dalam segala tindak dan perilakunya dalam menetapkan setiap kebijakan publik yang dibuktikan dengan berbagai keputusan. Seperti membatalkan penetapan Budi Gunawan sebagai calon kapolri, memberhentikan sementara Ketua KPK Abraham Samad, memutuskan eksekusi mati dua warga negara Australia, mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif, menenggelamkan kapal asing pencuri ikan, melakukan negosiasi dengan PT Freeport dengan tegas dan bersikap, dan tidak melakukan intervensi kasus ketua DPR,dll.
Jokowi telah menetapkan program revolusi mental, khususnya pada dunia pendidikan dalam poin ke Nawacita. Revolusi mental itu diharapkan mampu mengubah dan membenahi karakter bangsa Indonesia. Walaupun sampai saat ini revolusi mental itu belum berhasil, dengan perbaikan konsep, metode, dan pendekatan implementasi diharapkan dapat mengakselerasi pencapaian tujuan.
Revolusi mental dimulai dari pinggiran atau perdesaan sehingga dampak dan pengaruhnya akan bergulir ke area perkotaan yang secara otomatis terakumulasi menjadi kristalisasi nilai-nilai luhur sebagai karakter unggul nasional. Karena itu, Jokowi diharapkan harus tetap konsisten bekerja keras, cerdas, ikhlas, dan tuntas untuk selalu berupaya mengonsolidasikan seluruh kekuatan nasional, sekaligus mampu merajut sinergisitas berbagai komponen bangsa agar tercipta tata kelola pemerintahan dalam suatu koridor visi-misi yang selaras.

Mengembalikan Politik Keadaban

Mengembalikan Politik Keadaban
WAKAPOLRI Komjen Syafruddin mengatakan Polri menaruh perhatian khusus terhadap ancaman kabar bohong atau hoaks yang beredar di Pilkada Serentak 2018. “Isu hoaks bisa terjadi. Oleh karena itu, Polri bukan hanya menyiapkan pengamanan fisik, cyber patrol kami juga sudah siapkan dan sudah operasionalkan," kata Syafruddin di kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Senin (8/1).

Menurut Syafruddin, potensi hoaks di pilkada bisa mungkin dimunculkan demi menjatuhkan lawan atau kampanye hitam. Maraknya kampanye hitam tidak lepas dari maraknya politik kebencian yang dibungkus dalam baju SARA.

Isu sengaja dimainkan karena biaya politik sangat murah. Calon pemimpin tidak perlu kerja keras, tanpa perlu merumuskan agenda yang jelas untuk menuju perubahan yang lebih baik, tetapi menggunakan proganda membunuh lawan politik dengan cara sistematis meraih simpatik publik. Proganda bertujuan membohongi publik dengan menggunakan fakta dan data penuh kamuflase. Targetnya, publik tertipu agenda tersembunyi.

Sentimen SARA merusak persatuan bangsa dan menyebabkan potensi bangsa ini kehilangan masa depan karena memilih pemimpin yang tidak memiliki keutamaan publik untuk melayani rakyatnya. Penggunaan isu SARA seperti membuat agitasi yang menyulut sentimen dan sisi emosional sebagian masyarakat. Akibatnya, hasutan dan ujaran kebencian akhirnya membuat pemilih menjadi irasional.

Kampanye hitam pada dunia politik sebuah upaya terorganisasi untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan pemilih. Kampanye hitam dapat dilakukan melalui berbagai media elektronik, cetak, maupun internet. Ini juga termasuk situs-situs berita yang mendadak bermunculan dengan nama domain yang provokatif, tapi umumnya tidak kredibel.

Ada agenda tertentu di balik meluasnya keresahan karena sentimen dan hasutan. Harapannya, kelompok tertentu akan memetik keuntungan politik. Meski begitu, sebenarnya tidak mudah mengapitalisasi sentimen keagamaan dan etnisitas yang dipolitisasi demi keuntungan elektoral belaka. Argumentasi logisnya, karena masyarakat sebenarnya sudah sangat rasional dan cukup dewasa menyikapi hembusan SARA demi tujuan politik.

Isu SARA kembali mencuat dan menjadi instrumen partai untuk merebut simpati masyarakat di tengah situasi karut-marut politik, ekonomi, dan sosial. Ini secara tidak langsung mengafirmasi kegagalan partai melahirkan figur berkualitas. Mereka kekurangan visi dan ideologi. Defisit inilah yang membuat ruang publik menjadi korban, dimanfaatkan untuk memfasilitasi ajang kampanye hitam, dengan mengakumulasi bahasan-bahasan provokatif, tendensius, saling serang, termasuk menggunakan isu SARA. Padahal, masyarakat sudah jengah.

Berpihak pada Masyarakat
Mari sedikit menengok Pemilu 1955, yakni partai-partai bisa dikatakan cukup punya ideologi dan berpihak pada masyarakat. Ada yang memperjuangkan nasib petani, buruh, sosialis, dan orang kecil. Partai waktu itu dalam konteks untuk merebut hati rakyat dengan memperjuangkan ideologi rakyatnya.

Menurut Goode (2005), memang semestinya ruang publik linier dengan norma, ekspektasi, serta tujuan demokrasi masyarakat. Demokrasi diisi dengan keadaban dan ruang publik dipergunakan sebagai sarana membangun panggung diskursus konstruktif partai dan rakyat tentang berpolitik serta bernegara. Ini dilakukan tanpa harus menyentuh dan menyalahgunakan isu SARA.

Pada situasi pemilu pertama 1955, tidak ada isu SARA untuk menyerang lawan. Partai bicara tentang program kerja. Politik masih beradab dan beretika. Malahan ketika itu partai agama pun tidak berbicara agama. Partai Katolik, Partai Masyumi, semua berbicara tentang program. Pemilu 1955 dinilai paling demokratis karena dalam berdebat, adu program, dan perencanaan tetap menggunakan etika berpolitik. Meskipun mereka menggunakan partai agama, tetap mengedepankan politik akal sehat.

Isu SARA yang kembali muncul jelang Pilkada 2017, lebih karena tidak adanya visi-misi yang jelas peserta. Penyebab lain, tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan berbagai masalah. Akhirnya, isu SARA hanya untuk membakar emosional yang potensial melahirkan konflik.

Jika peserta pilkada percaya diri dan mempunyai program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tidak perlu menggunakan isu agama dan etnik. Penggunaan isu SARA sudah tidak mempan. Masyarakat tidak mudah lagi terprovokasi untuk ikut-ikutan merespons lemparan isu agama dan etnis.

Maka dari itu, masyarakat harus pandai-pandai menilai dan mengukur kapabilitas kandidat dari agenda perubahan yang ditawarkan serta solusi berbagai persoalan. Hindari kompetisi politik hasut-menghasut dan menyakiti. Akhirnya, bangsa ini kehilangan harapan mewujudkan keadaban politik.

Kita berharap pilkada serentak mengutamakan nilai-nilai Pancasila dengan menjaga persatuan serta mengedepan kepentingan bangsa, bukan kepentingan kekuasan. Partai politik punya tanggung jawab moral untuk menjaga persatuan bangsa dengan mengedepankan agenda serta program, bukan politik SARA menguasai ruang publik.

Bangsa membutuhkan politik akal sehat yang menjadi pemandu kehidupan publik, bukan lagi politik kebencian karena keadabaan politik dibangun oleh politik gagasan seperti apa yang diperjuangkan generasi 28 dan dilanjutkan pikiran cemerlang Soekarno dan Hatta.

Harus Jadi Agenda
Keadaban politik harusnya dijadikan agenda dalam meyakinkan pemilih dengan perubahan yang jelas dan terukur, bBukan lagi politik identitas yang hanya mengaduk emosi publik. Visi pemimpin harus jelas melayani daulat rakyat, bukan daulat uang.

Kedaulatan rakyat seharusnya menjadi prioritas utama dalam kebijakan dan visi mereka ke depan. Jika dilihat dari apa yang terjadi selama ini, kita belum menemukan calon pemimpin yang serius memperhatikan kedaulatan rakyat itu. Calon pemimpin bangsa hanya memandang dari cakrawala sempit yang hanya mementingkan golongan dan partainya sendiri.

Perlu cara pandang baru bagi calon pemimpin bangsa bahwa dengan kekuatan atau figur semata, krisis bangsa ini tidak terselesaikan. Bahwa hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri dan menegasikan kekuatan lainnya, bangsa ini akan semakin terjerumus ke jurang yang terdalam. Bangsa ini tidak membutuhkan sosok pemimpin yang kuat, tetapi pemimpin yang memiliki orientasi yang jelas, berpihak kepada rakyat dan bukan kepada pemilik modal.

Pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya ukuran sukses pemerintahan. Ukuran utamanya ialah berkurangnya jumlah orang miskin, pengangguran, kebodohan, dan kerusakan lingkungan hidup, berkurangnya korupsi, pelanggaran HAM, serta kekerasan dalam jumlah yang signifikan. Itu merupakan syarat kontrak moral terhadap siapa pun yang berani mencalonkan dirinya sebagai pemimpin bangsa.

Siapa pun sosoknya, tidak begitu penting. Yang dipentingkan ialah apakah mereka benar-benar memiliki keutamaan itu. Keutamaan pemimpin dinilai dari catatan moral dan pengabdian kepada bangsa yang pernah dibuatnya. Sangat penting melihat kesungguhan orang yang akan menjalankan sebuah roda pemerintahan.
Keutamaan pemimpin dinilai dari catatan moral dan pengabdian kepada bangsa yang pernah dibuatnya. Amat penting melihat kesungguhan orang yang akan menjalankan sebuah roda pemerintahan.

Masalah Demokrasi Pilgub Lampung 2018

Masalah Demokrasi Pilgub Lampung 2018
KONTESTASI calon kepala daerah Pemilihan Gubernur Lampung 2018 telah memasuki babak akhir pada Januari ini. Lampung akhirnya mendapatkan empat pasangan calon kepala daerah, sebuah jumlah yang fenomenal dilihat dari ukuran jumlah kursi yang ada serta koalisi partai politik pengusung.

Empat pasangan calon tersebut dimulai dari pasangan Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim, calon dari Partai Golkar (10 kursi), PAN (8 kusi) dan PKB (7 kursi) dengan total 25 kursi DPRD Lampung; pasangan Mustafa–Ahmad Jajuli yang diusung Partai NasDem (8 kursi), PKS (8 kursi), dan Hanura (2 kursi) dengan total 18 kursi; pasangan Herman HN–Sutono yang diusung tunggal oleh PDIP (17 kursi); dan pasangan petahana M Ridho Ficardo–Bachtiar Basri yang diusung Partai Demokrat (11 kursi), Gerindra (10 kursi), serta PPP (4 kursi) dengan total dukungan 25 kursi DPRD Provinsi Lampung.

Perang bintang terjadi dalam Pilgub Lampung kali ini jika merujuk pada posisi politik masing-masing calon. M Ridho Ficardo adalah gubernur Lampung saat ini, Herman HN adalah wali kota Bandar Lampung dua periode, Mustafa adalah bupati Lampung Tengah. Untuk posisi wakil gubernur, petahana Wakil Gubernur Bachtiar Basri kembali maju, Chusnunia merupakan bupati Lampung Timur. Posisi Arinal Junaidi dan Sutono yang merupakan mantan sekretaris Provinsi Lampung tentu saja memiliki jejaring yang luas dengan beragam masyarakat pemilih di Lampung. Tak ketinggalan Ahmad Jajuli, politikus senior PKS, anggota DPD RI dua periode.

Pertarungan pada Pilgub Lampung 2018 dengan empat pasangan calon ini nantinya berlangsung sengit, karena Lampung menjadi salah satu barometer utama dalam kontestasi Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif 2019 di Pulau Sumatera. Perebutan suara akan menjadi sangat menarik karena ada tiga kepala daerah (wali kota dan bupati) aktif di Lampung yang memperebutkan suara di wilayahnya masing-masing, yaitu Bandar Lampung, Lampung Tengah, dan Lampung Timur. Tiga daerah ini termasuk empat besar lumbung suara terbanyak di Provinsi Lampung selain Kabupaten Lampung Selatan.

Berdasarkan aturan di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, di dalam Pasal 109 Ayat (1) tertulis, “Pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih”, dilanjutkan dengan Ayat (2) yang tertulis, “Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih”.

Dengan empat pasangan kandidat yang ada dan meratanya modal sosial pasangan kandidat terhadap pemilih, perebutan suara pada Pilgub Lampung 2018 akan berlangsung ketat. Berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, terdapat dua masalah demokrasi dalam helatan pemilihan kepala daerah serentak jilid tiga di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung.

Pembelian Suara-Politik Uang
Menilik akan ketatnya persaingan untuk merebut hati pemilih dalam Pilgub Lampung, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, soal pembelian suara dan politik uang. Dua definisi ini sering disamakan walaupun maknanya sedikit berbeda. Politik uang lebih dikenal dalam telinga pemilih karena biasanya diidentikkan dengan pemberian uang atau barang yang sifatnya nyata dan diterima langsung manfaatnya oleh pemilih.

Pembelian suara menurut definisi dari Edward Aspinall (2015) dibedah kembali menjadi beberapa karakteristik di antaranya politik uang langsung, janji-janji proyek, penampilan dan pencitraan, dan bargaining kebijakan.
Pemilih harus berhati-hati dengan perilaku pembelian suara yang dilakukan para kandidat. Kehati-hatian pemilih juga perlu didukung penyelenggara, khususnya KPUD dan Bawaslu Provinsi Lampung beserta jajarannya, untuk memberikan sosialisasi, pendidikan politik, serta tindakan pencegahan preventif dan pengawasan berbarengan dengan masyarakat sipil di Provinsi Lampung.

Persoalan menjadi pelik tatkala praktik-praktik pembelian suara dianggap hal yang wajar bagi sebagian pemilih kita yang belum tersentuh pengetahuan kognitifnya tentang tata aturan dalam pemilihan kepala daerah. Di lain pihak, para kandidat dan juga tim kampanye beserta tim sukses juga bertindak serupa dengan mengakali peraturan atau bermain kucing-kucingan dengan pengawas dan penyelenggara dengan semboyan “asal tidak ketahuan”.

Pembelian suara dengan iming-iming uang, barang, jasa, atau janji sudah menjadi musuh demokrasi sejak lama, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Transaksional suara ini akan menurunkan derajat demokrasi, dari aspek representasi akan menurun karena kandidat merasa sudah membeli suara pemilih sehingga kandidat bisa saja merasa tidak perlu bertanggung jawab mewakili para pemilihnya. Kandidat hanya bekerja untuk dirinya atau kelompoknya.

Politik uang menyebabkan biaya pemilihan yang seringkali overbudget. Jika tidak sanggup membiayai pemilihan, kandidat mendapat bantuan dari pihak ketiga dengan harapan mendapatkan konsesi proyek saat kandidat yang didukungnya terpilih. Tatkala kandidat memutuskan untuk membiayai sendiri kampanyenya, terbuka potensi bagi dirinya untuk mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan plus bonus dengan melacurkan kewenangannya sebagai kepala daerah. Jika berkeinginan mencalonkan kembali pada periode yang kedua, praktik korupsi semakin besar dilakukan.

Kapitalisasi Politik Identitas
Jika menilik komposisi dalam calon kandidat gubernur Lampung 2018, masih sangat tampak jelas pembelahan dalam penyusunan kandidat calon, yakni antara suku Jawa dan suku Lampung. Rumus Jawa–Lampung atau Lampung-Jawa sudah menjadi pola pakem yang seolah tak tergantikan dalam era pemilihan langsung. Melihat komposisi pemilih berdasarkan data BPS Provinsi Lampung 2017, jumlah etnis Jawa adalah yang terbesar di Bumi Ruwa Jurai ini. Namun, walaupun etnis Lampung tidak menempati posisi nomor dua setelah etnis Jawa, posisinya sebagai pribumi menjadi tetap strategis dalam mendulang suara.

Walaupun Lampung tidak dalam posisi daerah rawan konflik pemilihan kepala daerah berdasarkan data dari Kepolisian RI dan Bawaslu RI tahun 2017, tetap harus menjadi fokus perhatian para penyelenggara, Kepolisian Daerah Lampung, dan masyarakat sipil untuk turut menjaga stabilitas dan beredarnya isu SARA yang akan berpotensi menuai konflik lokal.

Ketatnya persaingan antara empat pasangan calon gubernur Lampung cukup potensial untuk menciptakan gesekan politik di tingkat pendukung, simpatisan, dan pemilih fanatik (taklid). Ditambah dengan bumbu keretakan hubungan dan perang dingin antara beberapa calon gubernur Lampung yang akan bertarung esok.
Kapitalisasi politik identitas menghasilkan pemimpin yang akan menghadapi persoalan keterbelahan masyarakat dan biasanya pemulihannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Konflik horizontal berpotensi tercipta di tengah masyarakat sehingga kandidat terpilih belum tentu dapat optimal bekerja. Hal ini dikarenakan kandidat terpilih akan menghadapi gelombang oposisi masyarakat yang merasa dikalahkan dan tersakiti dalam masa pemilihan.

Semoga Lampung dapat menghasilkan pemimpin yang amanah tanpa konflik. Amin. Wallahualam bissawab.

Kota Mekah Masa Depan

Kota Mekah Masa Depan
PEKAN lalu, 26—28 Desember 2017, penulis diundang Pemerintah Arab Saudi dalam presentasi visi dan misi pembangunan dan pengembangan Kota Mekah 2030 di Jeddah. Turut diundang juga tokoh muslim dari sejumlah negara muslim. Dalam konferensi ini, dipresentasikan fasilitas dan infrastruktur yang akan dibangun di sekitar Kota Jeddah, Mekah, dan Thaif. Sebelumnya juga, penulis diundang ketika di-launching visi dan misi Kota Madinah Al-Munawwarah di masa depan.

Dalam konferensi itu, Pemerintah Arab Saudi meminta masukan kepada sejumlah negara, khususnya negara-negara muslim yang mempunyai jemaah haji dan umrah yang besar seperti Indonesia, Turki, Mesir, India, Pakistan, dan negara-negara Teluk lainnya.

Dalam perencanaan Kota Mekah masa depan akan dibangun sejumlah infrastruktur penting, antara lain pengembangan Bandara Jeddah, pembangunan bandara baru di Thaif, dan pengembangan Bandara Madinah. Yang menarik, pembangunan Bandara Internasional Thaif akan memperpendek perjalanan darat calon jemaah haji dan umrah ke Mekah. Kehadiran bandara itu sekaligus bisa memperpendek masa pelaksanaan haji yang selama ini panjang karena kesibukan Bandara Jeddah. Jumlah gateway tentu sudah lebih banyak, apalagi dengan diperluasnya Bandara Madinah.

Kota Thaif merupakan kota tua yang udaranya sangat sejuk karena berada di ketinggian. Suatu saat Nabi menjadikannya target tempat pengungsian, tetapi di dalam perjalanan, Nabi dihadang preman Thaif dan dilempari batu sampai tumit Nabi berdarah. Malaikat penjaga gunung menawarkan bantuan untuk menghancurkan kota itu, tetapi Nabi menolak dengan alasan umatnya melakukan penolakan karena mereka belum tahu siapa sesungguhnya dirinya.
Kereta-Jalur Laut
Belakangan Kota Thaif menjadi benteng pertahanan umat Islam dan hingga saat ini ditempatkan alat-alat pertahanan berat Kerajaan Saudi. Selain pembangunan bandara, kota-kota Arab Saudi juga akan dilengkapi kereta api (subway) berkecepatan tinggi (350 km/jam).

Jarak antara Kota Mekah dan Madinah dengan bus selama ini di musim haji ditempuh 7 jam—10 jam dan akan menjadi kurang 2 jam dengan kereta cepat ini. Kereta ini juga connect dengan kereta ke negara-negara lain sampai Eropa melalui Istanbul dan Afrika menyeberang ke Terusan Suez. Kereta itu bukan hanya cepat, melainkan juga sangat mewah bagaikan pesawat kelas bisnis. Keberadaan kereta cepat itu bisa mengurangi aktivitas Bandara Jeddah, Madinah, dan Thaif.

Selain bandara dan kereta, sedang dibangun pelabuhan internasional untuk menampung penumpang jemaah haji dan umrah lewat laut. Sudah terdapat persepakatan sejumlah pengusaha kapal pesiar yang dapat digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji dan umrah. Ada sejumlah negara yang dimungkinkan menggunakan transportasi laut menuju pelabuhan Kota Jeddah. Di sana dimungkinkan merapat kapal-kapal besar sejenis kapal pesiar mutakhir.

Di samping pelabuhan kapal penumpang, juga pelabuhan kontainer yang akan menampung berbagai keperluan, termasuk pasokan konsumsi calon jemaah dari berbagai negara. Diharapkan, makanan seluruh jemaah haji dan umrah disesuaikan dengan selera yang selama ini dikonsumsi di negeri masing-masing.

Kota Jeddah juga sedang dipersiapkan jalur bus eksekutif yang mewah yang berfungsi menghubungkan berbagai kota di Arab Saudi. Jalanan akan diperlebar dan bus disesuaikan dengan standar di Saudi. Bus ini juga menghubungkan bandara dengan Kota Mekah atau Madinah, terminal kereta dengan hotel-hotel tempat jemaah.

Deregulasi di kantor-kantor imigrasi dipercepat sehingga calon jemaah haji dan umrah tidak berlama-lama di bandara, pelabuhan, dan terminal. Termasuk penyederhanaan check point yang berlapis-lapis, yang juga menambah masa tinggal calon jemaah di Mekah atau di Madinah.

Keamanan dan kenyamanan jemaah haji dan umrah juga dipikirkan. Tempat-tempat ziarah akan dibangun sistem sekuriti yang lebih baik, seperti keamanan yang akan mendaki Gua Hira, Gua Tsaur, Gunung Uhud, dan pusat-pusat perbelanjaan, hiburan, dan rekreasi.

Sistem CCTV, sarana telekomunikasi, dan rambu-rambu yang akan berfungsi secara otomatis. Rumah sakit akan ditambah dan dipermodern, standardisasi hotel dan pemondokan jemaah harus sesuai dengan standar. Termasuk yang dipikirkan kekuatan jaringan listrik dan fasilitas telekomunikasi yang cukup dan mudah diakses. Penghijauan taman-taman terbuka dan kemudahan mengakses air bersih dan air minum sudah dirancang sedemikian rupa untuk memberikan kepuasan kepada jemaah. Alhamdulillah.

Antara Hawa Nafsu dan Akal

Antara Hawa Nafsu dan Akal
AWAL tahun baru Masehi masih belum bisa beranjak dari isu yang berkembang tahun sebelumnya, yaitu terdapat degradasi nilai-nilai pendidikan di masyarakat. Pergeseran nilai-nilai ini seolah-olah menggeser peran akal sebagai penilai kebaikan dalam kehidupan. Akal sepertinya sudah cenderung dikuasai hawa nafsu sehingga apa yang diinginkan hawa nafsu, akal cenderung tunduk dan patuh padanya.

Bahkan, akal dengan pemikirannya dapat membenarkan keinginan hawa nafsu yang buruk itu. Dan, itu sering kita jumpai di masyarakat yang menganggap bahwa keburukan dan kerusakan yang dipromotori oleh hawa nafsu menjadi umum dan diterima akal.

Fenomena hawa nafsu yang menguasai akal sebenarnya bukan hal yang baru. Hal ini telah berlangsung lama dan ada dari masa ke masa. Namun, yang menjadi perhatian adalah dari segi kuantitas. Jika orang-orang yang akalnya dikuasai hawa nafsu jumlahnya sedikit, akan kalah dan tersingkir. Sebaliknya, jika jumlahnya lebih banyak, orang-orang yang akalnya menguasai hawa nafsu yang akan tersingkirkan.

Maka, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah banyak perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan kebenaran akal dikarenakan nilai-nilai kebaikan yang dibentuk akal berganti dengan hal-hal buruk produk dari hawa nafsu.

Sejarah kenabian pernah dikisahkan sahabat mulia nabi Muhammad saw, yaitu Abdullah bin Mas’ud, berkata, “Kalian hidup di suatu zaman di mana kebenaran menguasai hawa nafsu dan kelak akan datang suatu zaman di mana hawa nafsu justru yang mengangkangi kebenaran”. Dari pernyataan ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada masa kenabian banyak orang yang akalnya menguasai hawa nafsu.

Kegiatan sehari-hari di masyarakat cenderung pada kebenaran dan bernilai kebaikan bagi umat karena tunduk dan patuh terhadap aturan agama. Masyarakat hidup nyaman dan damai, banyak orang yang dapat dipercaya karena memiliki akhlak yang baik karena mampu menundukkan hawa nafsunya. Aturan ditegakkan sebagaimana mestinya. Namun, bagaimana pernyataan yang selanjutnya yang merupakan prediksi sahabat Abdullah bin Mas’ud. Apakah saat inilah zaman yang diprediksi banyak orang dimana hawa nafsunya menguasai akal? Mari sama-sama kita renungkan!

Zaman saat banyak orang yang hawa nafsunya menguasai akal dapat dilihat dari tanda-tanda yang muncul. Banyak atau tidaknya orang yang menentang aturan dan lebih menuruti hawa nafsunya. Mari kita merefleksi sejenak, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Mulai dari masyarakat biasa sampai kaum pejabat dan intelektual. Apakah semakin banyak yang bertindak menentang aturan dan membuat kerusakan atau sebaliknya semakin banyak yang patuh terhadap aturan. Banyak yang mengedepankan akal atau banyak yang mengedepankan hawa nafsunya?

Perilaku Menyimpang
Contoh perilaku yang menyimpang akibat mengedepankan hawa nafsunya ketimbang akalnya sudah banyak ditemui. Baru-baru ini isu tentang LGBT yang semakin santer untuk dapat pengakuan publik semakin gencar didengungkan. Fenomena LGBT merupakan perilaku yang menyimpang dan melanggar aturan.

Kenapa demikian? Karena LGBT berdampak buruk dan membuat kerusakan yang besar dan sangat merugikan, terutama bagi generasi penerus bangsa. Perlu diketahui, tidak ada contoh kebahagiaan yang hadir dalam kasus LGBT yang dapat memberi contoh bagi yang lainnya.

Selain itu, di pemerintahan juga masih banyak dikabarkan korupsi dan korupsi. Yang pada dasarnya hanya menuruti hawa nafsunya ketimbang akalnya. Ini baru beberapa contoh besar yang berdampak buruk dan kerugian bagi publik.

Perkara mengalahkan hawa nafsu oleh akal tidaklah mudah. Perlu perjuangan dan usaha yang keras. Hawa nafsu setiap saat akan terus membisikkan kepada akal untuk patuh dan taat padanya. Hawa nafsu akan terus berusaha mengambil celah dan lalainya seseorang untuk bisa masuk dan menguasai akal. Hawa nafsu memperlihatkan keindahan-keindahan pada akal sehingga akal akan lalai dan mengikutinya
.
Akal Vs Nafsu
Hawa nafsu dan akal seperti musuh bebuyutan yang akan selalu berusaha saling menjatuhkan. Apabila manusia itu lalai, akal akan kalah dan manusia tersebut akan terjerumus pada tipu daya hawa nafsunya. Hawa nafsu dianggap sebagai kawan sehingga menuruti apa-apa yang menjadi keinginannya. Al Hakim pernah berkata, “Akal itu kawan yang sering dihindari, sementara hawa nafsu adalah musuh yang sering diikuti”.

Nasihat Al Hakim dapat memberikan penjelasan pada kita bahwa akal itu sebenarnya adalah kawan kita dan hawa nafsu itu adalah musuh kita. Akal mengajak kepada kebaikan walau berat dalam pelaksanaannya dan kadang berkonsekuensi buruk dalam dirinya. Berat rasanya karena terkadang kebenaran akal itu harus bertentangan dengan pemerintahan dan unsur lainnya.

Namun, pada dasarnya itu yang baik. Kawan yang baik tidak akan menjerumuskan kawannya yang lain pada lembah kenistaan dan menimbulkan kerugian yang besar. Berbeda dengan hawa nafsu, dengan tipu dayanya membuat indah hal-hal yang buruk, membisikkan kepada diri seseorang di sela-sela kelalaiannya, hingga orang tersebut sampai menurutinya dan menganggap hawa nafsu sebagai kawannya walaupun itu berdampak buruk.
Akhir tulisan ini, mari kita sama-sama jaga diri dan keluarga kita agar tidak terlalu berlebihan dalam mengarungi kehidupan yang semakin penuh dengan gemerlapan dan keindahan. Sebab, bisa jadi berlebih-lebihan itu akan membuka pintu hawa nafsu untuk masuk menguasai akal. Yang kemudian kita terjerumus menjadi kawan dari musuh kita yaitu hawa nafsu.

Jangan sampai kita lalai hingga menuhankan hawa nafsu yang dapat membawa dampak kerugian yang besar dan jangan sampai kita menjadi orang lalai, orang yang lebih rendah derajatnya daripada hewan, seperti yang digambarkan dalam Aluran Surah Al-A’raf Ayat 179 kerena kita menuruti hawa nafsu kita.

Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana

Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana
HUKUM selalu diidentikkan dengan aturan penguasa yang isinya berupa perintah dan larangan, padahal hukum berkaitan erat dengan masyarakat. Sesuai dengan ungkapan “ubi societas ibi ius” yang berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum” (Cicero 106—43 SM).

Hukum dan masyarakat adalah dua bentuk yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat membutuhkan hukum guna mempertahankan dan merawat masyarakat itu. Hukum muncul karena kehendak masyarakat itu sendiri. Hukum sudah ada dalam keluarga sebagai lingkup masyarakat terkecil seperti kewajiban orang tua menyayangi anaknya dan kewajiban anak mematuhi orang tua dan sebagainya. Di lingkup masyarakat terbesar, yaitu negara, hukum akan lebih kompleks lagi.

Apabila aturan-aturan dalam hukum tersebut tidak dipatuhi, akan dikenakan hukuman, salah satunya adalah hukuman pidana. Pidana berarti nestapa atau penderitaan yang diberikan pihak yang berwenang kepada pihak yang melanggar hukum.

Induk hukum pidana di Indonesia berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, nama aslinya adalah WVSNI (Wetboek Van Strafrecht voow Nederlandsch Indie) dan sudah berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP ini merupakan salinan dari KUHP Belanda yang berasaskan liberalis kapitalis.

Jikalau kita hitung sejak tahun 1918, umur dari KUHP yang ada saat ini hampir menyentuh satu abad. Selama ini KUHP Indonesia hanya mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan beberapa pasal, namun secara menyeluruh KUHP saat ini tidak berbeda jauh dengan KUHP yang lama.

Dengan menggunakan hukum Barat, sekalipun telah dimodifikasi, tentunya tidak sesuai dengan semangat untuk bebas dari belenggu penjajahan. Mirisnya, Belanda tidak memakai lagi KUHP ini.

Tidak Relevan

Selain itu, KUHP Indonesia yang telah berumur itu isinya kurang relevan lagi bagi kondisi masyarakat saat ini, kurangnya update menjadi sebabnya. Padahal, hukum haruslah menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat sehingga fungsi hukum pidana guna menyelenggarakan tata kehidupan masyarakat tetap berjalan dengan baik
Salah satu contoh kurangnya pembaharuan materi hukum pidana ialah kasus narkoba dari seorang artis terkenal, yaitu Raffi Ahmad. Dia disinyalir telah mengonsumsi khat atau disebut juga teh Arab. Padahal, kandungan zat yang ada pada teh Arab dapat digolongkan menjadi salah satu jenis narkoba.

Hukum pidana saat itu belum memasukkan teh Arab sebagai salah satu jenis narkoba. Maka, kemudian demi hukum artis tersebut dibebaskan karena adanya asas legalitas “tidak ada tindak pidana jika belum ada undang-undang yang mengaturnya lebih dahulu”. Pelajaran yang dapat dipetik ialah begitu pentingnya pembaharuan materi hukum pidana sehingga kejadian seperti ini tidak terulang.

Selain itu, kelemahan hukum pidana yang ada saat ini ialah rumusan pasal yang masih kurang jelas sehingga dapat menimbulkan multitafsir dan dapat menimbulkan celah sehingga perbuatan yang sebetulnya dapat dipidana tapi tidak dapat dipidana. Salah satunya rumusan Pasal 284 KUHP Ayat (1) tentang Perzinaan yang hanya mengancam pidana selama maksimal 9 bulan bagi laki-laki ataupun perempuan yang telah kawin karena melakukan hubungan senggama dengan orang yang bukan pasangannya.

Dalam rumusan pasal ini, pengertian zina sangat sempit sekali, hanya berlaku bagi orang-orang yang telah kawin, tidak sesuai dengan pengertian zina yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonsia (KBBI). Dalam KBBI, zina pengertiannya termasuk juga perbuatan senggama antara lelaki dan perempuan yang belum kawin. Rumusan pasal ini kemudian menjadi celah bagi pemuda-pemudi untuk melakukan zina karena memang undang-undang tidak melarang untuk itu, akibatnya ialah seks bebas merajalela. Hal ini terjadi karena sekali lagi kurangnya pembaharuan dalam hukum pidana.

Mutlak Diperbaharui

Lemahnya hukum pidana yang ada saat ini semakin diperparah dengan bobroknya moral manusia, yang mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan hukum. Hukum semakin tajam ke bawah dan tumpul ke atas, menindas dan menyengsarakan rakyat. Hukum hanyalah panggung dagelan guna memuaskan hasrat, memperjualbelikan hukum layaknya sebuah dagangan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme mendarah daging hingga menjadi budaya yang biasa untuk dilakukan bahkan mulai menjangkiti masyarakat. Kesadaran hukum semakin berkurang. Pelanggaran hukum semakin merajalela.

Maka itu, urgensi pembaharuan hukum pidana mutlak untuk dilakukan. Hukum pidana haruslah kembali ke fungsi awal, yaitu sebagai pelindung masyarakat dan juga penyelenggara tata kehidupan masyarakat. Hukum pidana harus sesuai dengan norma-norma yang ada di Pancasila dan UUD 1945. Hukum pidana harus menjamin kepastian hukum bagi semua golongan. Hukum pidana harus mengatasi segala bentuk kezaliman. 
Tidak ada kata terlambat untuk mengatasi permasalahan hukum pidana ini. Komitmen bersama antara masyarakat dan pemegang kekuasaan adalah kunci penting dengan mengesampingkan kepentingan pribadi dan mengedepankan kepentingan bersama dan kepentingan hukum. Selain itu, kesadaran hukum mutlak juga untuk dipahami dan dilaksanakan dimulai dari hal terkecil. Kesemuanya hanya untuk satu tujuan, yaitu keadilan.

Memperkuat Optimisme 2018

Memperkuat Optimisme 2018
PARA investor keuangan dipastikan berharap pada 2018 mereka dapat menikmati kelanjutan kombinasi faktor penopang keuntungan investasi yang jarang terjadi seperti pada 2017. Faktor-faktor itu ialah volatilitas pasar yang ultrarendah, nilai aset keuangan spektakuler, korelasi biaya mitigasi risiko portofolio yang rendah, dan kesempatan ladang investasi baru yang menjanjikan seperti bitcoin.

Namun, tentu saja para investor semestinya juga mempertimbangkan risiko jangka panjang terkait dengan tidak adanya korelasi kinerja pasar keuangan dari fundamen ekonomi dan kualitas kebijakan publik. Ekspektasi investor begitu tinggi hingga akhir 2017, bahkan harapannya semakin meninggi menyongsong 2018.
Kenapa tidak? Sampai dengan 12 Desember 2017, pasar saham global, khususnya S&P Index, telah membukukan keuntungan investasi sekitar 20% dan ini mencatat angka tertinggi sejak GFC 2008. Ditambah dengan sesuatu yang jarang terjadi, yaitu volatilitas sangat rendah, pada 2017 S&P 500 Index mencatat kerugian harian terkecil dalam sejarah sejak transaksi pasar modal di AS sehingga para investor dapat tidur nyenyak sepanjang 2017.

Biasanya penghasilan saham yang begitu kuat ditemani harga obligasi pemerintah yang rendah—disebut korelasi negatif antara risiko dan aset yang aman. Tidak begitu fenomena yang terjadi 2017. Di tengah harga saham yang impresif, harga obligasi Pemerintah AS jangka panjang (US treasury bills) lebih tinggi awal Desember 2017 jika dibandingkan dengan harga awal 2017.
Kemudian disertai peningkatan tajam harga crypto-currency bitcoin. Dengan peningkatan harga yang mencengangkan (dari 1.000 dolar AS menjadi lebih 16 ribu dolar pada 12 Desember 2017), suatu porsi investasi yang kecil pada bitcoin menjadikan perbedaan signifikan pada portofolio investor.

Pendorong Utama
Ada lima faktor utama yang menyebabkan kinerja pasar keuangan dunia begitu tidak lazim. Pertama, adanya sinkronisasi akselerasi pertumbuhan ekonomi global yang terus menguat. Dari 10 negara dengan PDB terbesar, hanya Inggris dan India yang mesin pertumbuhannya agak tersendat. Kedelapan negara lainnya, seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan Jerman, bergerak menguat bersamaan.

Kedua, perkembangan kebijakan ekonomi AS yang lebih pro-pertumbuhan. Seperti kebijakan energi yang bertumpu penguatan eksplorasi gas shale. Reformasi perpajakan yang memungkinkan repatriasi keuntungan luar negeri perusahaan AS yang beroperasi di pasar global serta penurunan pajak perusahaan menjadi 21% dari 35% tertinggi di antara negara maju.

Ketiga, normalisasi kebijakan moneter AS yang sekarang sedang berlangsung dilakukan Fedres dengan hati-hati, terukur, dan minim guncangan sehingga pasar sangat percaya kepiawaian Fedres menentukan arah ekonomi AS ke depan, yang mengacu target inflasi sekitar 2% sebagai ancar-ancar dimulainya pengetatan kebijakan moneternya. Target inflasi itu sulit tercapai karena dunia cenderung berada pada tingkat keseimbangan harga yang rendah. Karena itu, hingga akhir 2018 dipastikan likuiditas global masih ample.
Keempat, adanya aliran dana masuk ke AS karena antisipasi kebijakan tax amnesty AS dan antisipasi penguatan ekonomi AS, sehingga produk-produk investasi pasif pun mampu menarik dana masuk ke AS besar-besaran. Diperkirakan, dana perusahaan AS yang ditempatkan di luar negeri sekitar 2,5 triliun dolar telah mulai masuk ke pasar keuangan AS yang akan mendorong laju investasi di AS sehingga AS mengalami pemulihan pertumbuhan ekonomi aktual maupun potensial mereka.

Kelima, injeksi likuiditas secara masif yang dilakukan ketiga raksasa bank sentral dunia—The Bank of Japan (BOJ), The European Central Bank (ECB), The People's Bank of China (PBOC)—yang secara bersama-sama dengan neraca perusahaan global yang kelebihan likuiditas telah berkontribusi membantu menurunkan biaya dana yang signifikan pada rumah tangga dan perusahaan yang membutuhkan pendanaan.
Karena mesin ekonomi global masih di bawah utilisasinya, injeksi dana itu sangat berdampak positif pada perekonomian global dan tidak menyebabkan ekonomi overheating, tecermin dari laju inflasi yang cenderung melemah belum mampu menyentuh target maksimal 2% di negara-negara maju itu. Kecenderungan inflasi yang rendah itu juga disebabkan lemahnya kenaikan upah akibat kompetisi global di produk manufaktur yang sangat ketat setelah masuknya Tiongkok dalam perekonomian global.

Risiko yang Membayangi

Namun, perkembangan yang menggembirakan itu disertai berita kurang menggembirakan. Tanpa perbaikan dan inovasi kebijakan serta kinerja ekonomi yang berkelanjutan, faktor-faktor yang telah mendorong euforia investor selama 2017 berisiko menciptakan pembalikan keuntungan berubah menjadi kerugian.

Kinerja perekonomian dan pasar uang global 2017 yang sangat kuat itu secara tidak langsung meminjam keuntungan investasi dari masa-masa yang akan datang. Terkait dengan mitigasi risiko portofolio, peningkatan harga obligasi pemerintah hanya menyisakan sedikit ruang bagi aset yang aman secara tradisional ini untuk mengompensasi kemungkinan penurunan harga saham.

Jika kita mencermati fenomena itu, adanya persistensi volatilitas yang rendah mengakibatkan suatu perdagangan aset semakin jenuh yang secara teknis semakin rentan terhadap kejutan yang terjadi di masa depan.

Langkah yang Diambil
Lantas, apa yang benar-benar investor harapkan untuk 2018 ini? Secara umum, prioritas utamanya, penguatan fundamen ekonomi dan kebijakannya sampai pada tingkat yang menjamin kenaikan harga aset yang berkelanjutan. Sambil meletakkan fondasi yang semakin kuat agar keuntungan investasi semakin baik sepanjang waktu.

Untuk mencapai kondisi itu, di AS kebijakan yang proekspansi pertumbuhan sebagaimana yang baru-baru ini dideklarasikan Presiden Trump harus mencakup rencana peningkatan investasi infrastruktur selain deregulasi dan kebijakan perpajakan.

Uni Eropa juga harus fokus pada kebijakan pro-pertumbuhan pada tingkat nasional sembari memperkuat upaya penguatan ekonomi regional, yang difasilitasi reformasi kebangkitan kembali kepemimpinan Prancis dan Jerman, serta proses Brexit yang relatif tertata dan mulus.

Akhirnya, untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi global yang stabil, semua bank sentral utama dunia—The Fed, The BOJ, The ECB, dan The PBOC—harus terus melakukan koordinasi strategi, dengan target memastikan stance kebijakan moneter semakin konsisten. Hanya dengan upaya-upaya di atas secara optimal dan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi yang sekarang menguat mampu menumbuhkan akar struktural yang kuat sebagai fondasi akselerasi ekonomi mendatang.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi global semakin tahan lama, seimbang, dan inklusif dalam rentang jangka menengah. Namun, itu semua dibarengi situasi yang semakin kritis terkait dengan risiko geopolitik, ketidakpastian produktivitas, upah, dan dinamika inflasi.

Kalau upaya, strategi, dan konsistensi pemulihan ekonomi dapat dipertahankan seperti yang terjadi pada 2017, ekonomi global baik di negara maju maupun di emerging economies semakin memberikan kemakmuran sebagaimana diharapkan para investor dan juga semua penduduk dunia.

Ambiguitas Politik Baliho

Ambiguitas Politik Baliho
TENTU saja, bagi calon bupati, wali kota, gubernur, atau anggota Dewan, ada banyak cara untuk mempromosikan dirinya agar dikenal khalayak, salah satunya lewat baliho. Karena itu, menjelang musim pemilihan kepala daerah, di sepanjang jalan dan ruang publik kita temukan baliho dan spanduk itu.
Bahkan, tempo hari saya ke luar daerah, ternyata jalan ke kuburan pun masih sempat dikepung wajah-wajah calon kepala daerah. Tentu mereka paham jenazah tidak mungkin masuk ke TPS, tetapi minimal harapan mereka para pengantarnya sepulang dari kuburan masih terpatri dalam ingatan mereka tentang foto-foto itu.
Sejauh mata memandang, sejauh itu pula kita melihat banyak wajah yang memimpikan sekali tampuk kekuasaan dan memohon belas kasihan suara massa. Kebanyakan dari bahasa tubuh dengan sorot mata yang khas tampak sekali keinginan kuat untuk merebut dan bagi petahana mempertahankan kursi kekuasaan atau terwariskan kepada istrinya.

Apalagi, ditambah kata-kata yang kebanyakan nyaris tidak kreatif, klise, dan bombastis. Biasanya yang pintar bikin kata-kata ialah para penyair. Sayang, kebanyakan dari mereka tidak punya buncahan libido memburu kursi, bahkan cenderung memunggungi kekuasaan. Dalam konteks ini, tidak berlaku sama sekali sabda Nabi yang meneguhkan bahwa kekuasaan jangan diberikan kepada mereka yang memintanya karena dipastikan akan berkhianat.

Mungkin sabda Nabi dan petuah moral semacam itu cukup sebatas mimbar Jumat atau khotbah di gereja. Di banyak baliho tidak sedikit gambar itu disandingkan dengan ketua umum partainya dan atau tokoh yang dipandang punya karisma untuk memengaruhi pikiran rakyat. Ini bukan hanya persoalan absennya kepercayaan diri, melainkan semacam siasat ngalap berkah kepada sosok yang punya kekuatan dan bisa menghidupkan mesin partai.

Ternyata, keberkahan tidak saja berlaku di dunia tarekat, tapi justru di semesta yang paling profan, politik. Cium-mencium tangan bukan saja saya temukan ketika murid/ikhwan bertemu dengan mursyidnya, melainkan juga saat kader partai berjumpa dengan ketua partainya. Tawasul itu yang sangat konkret dan kita tidak pernah menyebutnya perilaku bidah malah terjadi ketika seseorang ingin dipertemukan dengan sosok-sosok yang dianggap the king makers dalam penentuan kekuasaan.

Mendatangi Pesantren

Ternyata tidak cukup sebatas itu. Untuk meraih suara sebanyak-banyaknya (keinginannya satu putaran), dikunjunginya para tokoh masyarakat baik tokoh adat, ketua perserikatan, suhu paguyuban, ketua kopertais/kopertis, penyanyi terkenal, dai kondang, preman pasar, jeger terminal, atau siapa pun juga.
Tentu tidak mungkin sowan sambil tidak membawa apa-apa. Ada sesuatu yang harus dibawa sebagai oleh-oleh yang dapat menjadi daya pengingat dan hubungan itu terus permanen sampai ke bilik suara, tidak terkecuali para kiai di pesantren. Mereka dianggap sosok yang punya pengaruh besar terhadap santri dan jaringan alumni mereka yang tersebar di banyak tempat.

Bukan hanya NKRI yang harga mati, melainkan juga pesantren dan kiainya harga mati yang niscaya disinggahi dalam setiap ritual pilkada. Apalagi, dalam sejarah politik Nusantara, kiai ialah figur yang punya kemampuan menjembatani kepentingan vertikal kekuasaan dengan persoalan horizontal kemasyarakatan.
Kiai tidak saja menjadi konsultan keagamaan masyarakat setempat, tapi juga penerjemah fasih persoalan sosial, kebudayaan termasuk politik warga. Kepada kiai dimintakan pendapat mulai dari masa depan karier politik sampai urusan jodoh dan doa agar harmoni ketika mengambil pilihan untuk poligami.

Karena itu, dahulu sosok kiai sangat ditakuti kaum kolonial karena dianggap dan terbukti mampu menggerakkan masyarakat sekitar untuk melakukan perlawanan kepada mereka dengan solid dan padu. Salah satu kelebihan (sekaligus kekurangan) para kiai melakukan semua tindakan politiknya itu dengan menggunakan tema-tema keagamaan. Sebut saja misalnya jihad fi sabilillah, demi tegaknya syariat Islam, amar makruf nahi mungkar, tersalurkannya aspirasi umat Islam.

Kata Ibnu Khaldun, sosiolog kelahiran Andalusia, tidak ada yang paling mampu memobilisasi massa kecuali dengan mengerahkan sentimen keagamaan, bahkan tidak sedikit orang rela mempertaruhkan nyawanya atas nama keyakinan agamanya. Kalau ada orang menyimpulkan dunia pesantren lekat dengan urusan akhirat dan kiai hanya melulu berbicara ibadah, bukan hanya keliru, melainkan juga menunjukkan secara telanjang kepandirannya. Itulah yang dahulu dibilang almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pesantren sebagai subkultur. Pesantren sebagai agen kebudayaan. Di tangan kiai—meminjam istilah Van Peursen—yang mistik dan teknik dipadupadankan.

Sebuah Usaha
Tentu tidak ada yang salah dengan kunjungan langsung atau lewat baliho itu. Namanya saja usaha dan atau niatkan saja sebagai bentuk silaturahmi dari calon pemimpin dengan warganya. Persoalan kelak setelah terpilih warga tidak lagi disapa, ini hal lain. Di negara kita, politik sering dimaknai sebagai urusan lima tahunan, bukan persoalan harian.

Karena itu, jangan heran kalau demokratis yang dirayakan baru sebatas elektoral-prosedural, belum menyentuh sisi substansialnya. Yang terakhir inilah yang salah. Demokrasi sebatas sejauh mana kita menggunakan hak pilih. Selesai kartu suara itu dimasukkan, politik berhenti di kotak suara. Terkunci di sana. Nyaris selama kekuasaan berjalan sepanjang lima tahun tidak ada kontrol dan akuntabilitas memadai dari yang terpilih dan warga tampaknya juga adem ayem dengan kepala daerah dan anggota Dewan pilihannya.


Coba simak, misalnya, tidak sedikit janji kepala daerah misalnya saat kampanye yang belum ditunaikan, tapi kepala daerah itu tidak merasa terbebani dengan seluruh janjinya itu, apalagi juga segenap warga tidak ada yang mempertanyakannya. Warga nyaris menjadi pihak yang pasif dan segala urusan yang menyangkut dirinya tidak pernah dikaitkan dengan kebijakan pemerintah.

Atau mungkin janji dalam konteks politik di negara berkembang seperti kita ialah sesuatu yang sejak dalam pikiran tidak harus ditunaikan. Janji ialah ucapan verbal sebagai gula-gula untuk memikat massa dan sama sekali tidak ada hubungan simbolisnya dengan upaya merealisasikannya. Janji menjadi semacam komunikasi yang tidak mengandung pesan apa-apa kecuali sekadar dusta. Keterampilan menyuarakan kebohongan seolah kebenaran.