Masalah Demokrasi Pilgub Lampung 2018

KONTESTASI calon kepala daerah Pemilihan Gubernur Lampung 2018 telah memasuki babak akhir pada Januari ini. Lampung akhirnya mendapatkan empat pasangan calon kepala daerah, sebuah jumlah yang fenomenal dilihat dari ukuran jumlah kursi yang ada serta koalisi partai politik pengusung.

Empat pasangan calon tersebut dimulai dari pasangan Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim, calon dari Partai Golkar (10 kursi), PAN (8 kusi) dan PKB (7 kursi) dengan total 25 kursi DPRD Lampung; pasangan Mustafa–Ahmad Jajuli yang diusung Partai NasDem (8 kursi), PKS (8 kursi), dan Hanura (2 kursi) dengan total 18 kursi; pasangan Herman HN–Sutono yang diusung tunggal oleh PDIP (17 kursi); dan pasangan petahana M Ridho Ficardo–Bachtiar Basri yang diusung Partai Demokrat (11 kursi), Gerindra (10 kursi), serta PPP (4 kursi) dengan total dukungan 25 kursi DPRD Provinsi Lampung.

Perang bintang terjadi dalam Pilgub Lampung kali ini jika merujuk pada posisi politik masing-masing calon. M Ridho Ficardo adalah gubernur Lampung saat ini, Herman HN adalah wali kota Bandar Lampung dua periode, Mustafa adalah bupati Lampung Tengah. Untuk posisi wakil gubernur, petahana Wakil Gubernur Bachtiar Basri kembali maju, Chusnunia merupakan bupati Lampung Timur. Posisi Arinal Junaidi dan Sutono yang merupakan mantan sekretaris Provinsi Lampung tentu saja memiliki jejaring yang luas dengan beragam masyarakat pemilih di Lampung. Tak ketinggalan Ahmad Jajuli, politikus senior PKS, anggota DPD RI dua periode.

Pertarungan pada Pilgub Lampung 2018 dengan empat pasangan calon ini nantinya berlangsung sengit, karena Lampung menjadi salah satu barometer utama dalam kontestasi Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif 2019 di Pulau Sumatera. Perebutan suara akan menjadi sangat menarik karena ada tiga kepala daerah (wali kota dan bupati) aktif di Lampung yang memperebutkan suara di wilayahnya masing-masing, yaitu Bandar Lampung, Lampung Tengah, dan Lampung Timur. Tiga daerah ini termasuk empat besar lumbung suara terbanyak di Provinsi Lampung selain Kabupaten Lampung Selatan.

Berdasarkan aturan di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, di dalam Pasal 109 Ayat (1) tertulis, “Pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih”, dilanjutkan dengan Ayat (2) yang tertulis, “Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih”.

Dengan empat pasangan kandidat yang ada dan meratanya modal sosial pasangan kandidat terhadap pemilih, perebutan suara pada Pilgub Lampung 2018 akan berlangsung ketat. Berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, terdapat dua masalah demokrasi dalam helatan pemilihan kepala daerah serentak jilid tiga di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung.

Pembelian Suara-Politik Uang
Menilik akan ketatnya persaingan untuk merebut hati pemilih dalam Pilgub Lampung, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, soal pembelian suara dan politik uang. Dua definisi ini sering disamakan walaupun maknanya sedikit berbeda. Politik uang lebih dikenal dalam telinga pemilih karena biasanya diidentikkan dengan pemberian uang atau barang yang sifatnya nyata dan diterima langsung manfaatnya oleh pemilih.

Pembelian suara menurut definisi dari Edward Aspinall (2015) dibedah kembali menjadi beberapa karakteristik di antaranya politik uang langsung, janji-janji proyek, penampilan dan pencitraan, dan bargaining kebijakan.
Pemilih harus berhati-hati dengan perilaku pembelian suara yang dilakukan para kandidat. Kehati-hatian pemilih juga perlu didukung penyelenggara, khususnya KPUD dan Bawaslu Provinsi Lampung beserta jajarannya, untuk memberikan sosialisasi, pendidikan politik, serta tindakan pencegahan preventif dan pengawasan berbarengan dengan masyarakat sipil di Provinsi Lampung.

Persoalan menjadi pelik tatkala praktik-praktik pembelian suara dianggap hal yang wajar bagi sebagian pemilih kita yang belum tersentuh pengetahuan kognitifnya tentang tata aturan dalam pemilihan kepala daerah. Di lain pihak, para kandidat dan juga tim kampanye beserta tim sukses juga bertindak serupa dengan mengakali peraturan atau bermain kucing-kucingan dengan pengawas dan penyelenggara dengan semboyan “asal tidak ketahuan”.

Pembelian suara dengan iming-iming uang, barang, jasa, atau janji sudah menjadi musuh demokrasi sejak lama, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Transaksional suara ini akan menurunkan derajat demokrasi, dari aspek representasi akan menurun karena kandidat merasa sudah membeli suara pemilih sehingga kandidat bisa saja merasa tidak perlu bertanggung jawab mewakili para pemilihnya. Kandidat hanya bekerja untuk dirinya atau kelompoknya.

Politik uang menyebabkan biaya pemilihan yang seringkali overbudget. Jika tidak sanggup membiayai pemilihan, kandidat mendapat bantuan dari pihak ketiga dengan harapan mendapatkan konsesi proyek saat kandidat yang didukungnya terpilih. Tatkala kandidat memutuskan untuk membiayai sendiri kampanyenya, terbuka potensi bagi dirinya untuk mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan plus bonus dengan melacurkan kewenangannya sebagai kepala daerah. Jika berkeinginan mencalonkan kembali pada periode yang kedua, praktik korupsi semakin besar dilakukan.

Kapitalisasi Politik Identitas
Jika menilik komposisi dalam calon kandidat gubernur Lampung 2018, masih sangat tampak jelas pembelahan dalam penyusunan kandidat calon, yakni antara suku Jawa dan suku Lampung. Rumus Jawa–Lampung atau Lampung-Jawa sudah menjadi pola pakem yang seolah tak tergantikan dalam era pemilihan langsung. Melihat komposisi pemilih berdasarkan data BPS Provinsi Lampung 2017, jumlah etnis Jawa adalah yang terbesar di Bumi Ruwa Jurai ini. Namun, walaupun etnis Lampung tidak menempati posisi nomor dua setelah etnis Jawa, posisinya sebagai pribumi menjadi tetap strategis dalam mendulang suara.

Walaupun Lampung tidak dalam posisi daerah rawan konflik pemilihan kepala daerah berdasarkan data dari Kepolisian RI dan Bawaslu RI tahun 2017, tetap harus menjadi fokus perhatian para penyelenggara, Kepolisian Daerah Lampung, dan masyarakat sipil untuk turut menjaga stabilitas dan beredarnya isu SARA yang akan berpotensi menuai konflik lokal.

Ketatnya persaingan antara empat pasangan calon gubernur Lampung cukup potensial untuk menciptakan gesekan politik di tingkat pendukung, simpatisan, dan pemilih fanatik (taklid). Ditambah dengan bumbu keretakan hubungan dan perang dingin antara beberapa calon gubernur Lampung yang akan bertarung esok.
Kapitalisasi politik identitas menghasilkan pemimpin yang akan menghadapi persoalan keterbelahan masyarakat dan biasanya pemulihannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Konflik horizontal berpotensi tercipta di tengah masyarakat sehingga kandidat terpilih belum tentu dapat optimal bekerja. Hal ini dikarenakan kandidat terpilih akan menghadapi gelombang oposisi masyarakat yang merasa dikalahkan dan tersakiti dalam masa pemilihan.

Semoga Lampung dapat menghasilkan pemimpin yang amanah tanpa konflik. Amin. Wallahualam bissawab.
Previous
Next Post »
0 Komentar