Mengembalikan Politik Keadaban

WAKAPOLRI Komjen Syafruddin mengatakan Polri menaruh perhatian khusus terhadap ancaman kabar bohong atau hoaks yang beredar di Pilkada Serentak 2018. “Isu hoaks bisa terjadi. Oleh karena itu, Polri bukan hanya menyiapkan pengamanan fisik, cyber patrol kami juga sudah siapkan dan sudah operasionalkan," kata Syafruddin di kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Senin (8/1).

Menurut Syafruddin, potensi hoaks di pilkada bisa mungkin dimunculkan demi menjatuhkan lawan atau kampanye hitam. Maraknya kampanye hitam tidak lepas dari maraknya politik kebencian yang dibungkus dalam baju SARA.

Isu sengaja dimainkan karena biaya politik sangat murah. Calon pemimpin tidak perlu kerja keras, tanpa perlu merumuskan agenda yang jelas untuk menuju perubahan yang lebih baik, tetapi menggunakan proganda membunuh lawan politik dengan cara sistematis meraih simpatik publik. Proganda bertujuan membohongi publik dengan menggunakan fakta dan data penuh kamuflase. Targetnya, publik tertipu agenda tersembunyi.

Sentimen SARA merusak persatuan bangsa dan menyebabkan potensi bangsa ini kehilangan masa depan karena memilih pemimpin yang tidak memiliki keutamaan publik untuk melayani rakyatnya. Penggunaan isu SARA seperti membuat agitasi yang menyulut sentimen dan sisi emosional sebagian masyarakat. Akibatnya, hasutan dan ujaran kebencian akhirnya membuat pemilih menjadi irasional.

Kampanye hitam pada dunia politik sebuah upaya terorganisasi untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan pemilih. Kampanye hitam dapat dilakukan melalui berbagai media elektronik, cetak, maupun internet. Ini juga termasuk situs-situs berita yang mendadak bermunculan dengan nama domain yang provokatif, tapi umumnya tidak kredibel.

Ada agenda tertentu di balik meluasnya keresahan karena sentimen dan hasutan. Harapannya, kelompok tertentu akan memetik keuntungan politik. Meski begitu, sebenarnya tidak mudah mengapitalisasi sentimen keagamaan dan etnisitas yang dipolitisasi demi keuntungan elektoral belaka. Argumentasi logisnya, karena masyarakat sebenarnya sudah sangat rasional dan cukup dewasa menyikapi hembusan SARA demi tujuan politik.

Isu SARA kembali mencuat dan menjadi instrumen partai untuk merebut simpati masyarakat di tengah situasi karut-marut politik, ekonomi, dan sosial. Ini secara tidak langsung mengafirmasi kegagalan partai melahirkan figur berkualitas. Mereka kekurangan visi dan ideologi. Defisit inilah yang membuat ruang publik menjadi korban, dimanfaatkan untuk memfasilitasi ajang kampanye hitam, dengan mengakumulasi bahasan-bahasan provokatif, tendensius, saling serang, termasuk menggunakan isu SARA. Padahal, masyarakat sudah jengah.

Berpihak pada Masyarakat
Mari sedikit menengok Pemilu 1955, yakni partai-partai bisa dikatakan cukup punya ideologi dan berpihak pada masyarakat. Ada yang memperjuangkan nasib petani, buruh, sosialis, dan orang kecil. Partai waktu itu dalam konteks untuk merebut hati rakyat dengan memperjuangkan ideologi rakyatnya.

Menurut Goode (2005), memang semestinya ruang publik linier dengan norma, ekspektasi, serta tujuan demokrasi masyarakat. Demokrasi diisi dengan keadaban dan ruang publik dipergunakan sebagai sarana membangun panggung diskursus konstruktif partai dan rakyat tentang berpolitik serta bernegara. Ini dilakukan tanpa harus menyentuh dan menyalahgunakan isu SARA.

Pada situasi pemilu pertama 1955, tidak ada isu SARA untuk menyerang lawan. Partai bicara tentang program kerja. Politik masih beradab dan beretika. Malahan ketika itu partai agama pun tidak berbicara agama. Partai Katolik, Partai Masyumi, semua berbicara tentang program. Pemilu 1955 dinilai paling demokratis karena dalam berdebat, adu program, dan perencanaan tetap menggunakan etika berpolitik. Meskipun mereka menggunakan partai agama, tetap mengedepankan politik akal sehat.

Isu SARA yang kembali muncul jelang Pilkada 2017, lebih karena tidak adanya visi-misi yang jelas peserta. Penyebab lain, tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan berbagai masalah. Akhirnya, isu SARA hanya untuk membakar emosional yang potensial melahirkan konflik.

Jika peserta pilkada percaya diri dan mempunyai program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tidak perlu menggunakan isu agama dan etnik. Penggunaan isu SARA sudah tidak mempan. Masyarakat tidak mudah lagi terprovokasi untuk ikut-ikutan merespons lemparan isu agama dan etnis.

Maka dari itu, masyarakat harus pandai-pandai menilai dan mengukur kapabilitas kandidat dari agenda perubahan yang ditawarkan serta solusi berbagai persoalan. Hindari kompetisi politik hasut-menghasut dan menyakiti. Akhirnya, bangsa ini kehilangan harapan mewujudkan keadaban politik.

Kita berharap pilkada serentak mengutamakan nilai-nilai Pancasila dengan menjaga persatuan serta mengedepan kepentingan bangsa, bukan kepentingan kekuasan. Partai politik punya tanggung jawab moral untuk menjaga persatuan bangsa dengan mengedepankan agenda serta program, bukan politik SARA menguasai ruang publik.

Bangsa membutuhkan politik akal sehat yang menjadi pemandu kehidupan publik, bukan lagi politik kebencian karena keadabaan politik dibangun oleh politik gagasan seperti apa yang diperjuangkan generasi 28 dan dilanjutkan pikiran cemerlang Soekarno dan Hatta.

Harus Jadi Agenda
Keadaban politik harusnya dijadikan agenda dalam meyakinkan pemilih dengan perubahan yang jelas dan terukur, bBukan lagi politik identitas yang hanya mengaduk emosi publik. Visi pemimpin harus jelas melayani daulat rakyat, bukan daulat uang.

Kedaulatan rakyat seharusnya menjadi prioritas utama dalam kebijakan dan visi mereka ke depan. Jika dilihat dari apa yang terjadi selama ini, kita belum menemukan calon pemimpin yang serius memperhatikan kedaulatan rakyat itu. Calon pemimpin bangsa hanya memandang dari cakrawala sempit yang hanya mementingkan golongan dan partainya sendiri.

Perlu cara pandang baru bagi calon pemimpin bangsa bahwa dengan kekuatan atau figur semata, krisis bangsa ini tidak terselesaikan. Bahwa hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri dan menegasikan kekuatan lainnya, bangsa ini akan semakin terjerumus ke jurang yang terdalam. Bangsa ini tidak membutuhkan sosok pemimpin yang kuat, tetapi pemimpin yang memiliki orientasi yang jelas, berpihak kepada rakyat dan bukan kepada pemilik modal.

Pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya ukuran sukses pemerintahan. Ukuran utamanya ialah berkurangnya jumlah orang miskin, pengangguran, kebodohan, dan kerusakan lingkungan hidup, berkurangnya korupsi, pelanggaran HAM, serta kekerasan dalam jumlah yang signifikan. Itu merupakan syarat kontrak moral terhadap siapa pun yang berani mencalonkan dirinya sebagai pemimpin bangsa.

Siapa pun sosoknya, tidak begitu penting. Yang dipentingkan ialah apakah mereka benar-benar memiliki keutamaan itu. Keutamaan pemimpin dinilai dari catatan moral dan pengabdian kepada bangsa yang pernah dibuatnya. Sangat penting melihat kesungguhan orang yang akan menjalankan sebuah roda pemerintahan.
Keutamaan pemimpin dinilai dari catatan moral dan pengabdian kepada bangsa yang pernah dibuatnya. Amat penting melihat kesungguhan orang yang akan menjalankan sebuah roda pemerintahan.
Previous
Next Post »
0 Komentar