Mengakarrumputkan Perlindungan Anak ke RT/RW

UDARA seketika terasa pengap menyusul kehebohan aksi monster pedofilia di Tangerang. Seorang oknum guru honorer memangsa secara seksual 41 siswa. Hampir menyamai oknum guru lainnya di Pulau Legundi, di tengah laut lepas Teluk Lampung, yang melecehkan lima puluhan anak didiknya. Semakin sesak dalam napas, kedua peristiwa jahat itu berdekatan dengan video mesum anak-anak yang dilakukan secara terorganisasi di Bandung.

Upaya mengarusutamakan perlindungan anak sebagai agenda nasional telah terlihat sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap Anak pada tahun 2014 silam. Melalui inpres tersebut, seluruh kementerian dan lembaga dikerahkan untuk bekerja dalam skala besar mengatasi kejahatan seksual para pemangsa anak-anak di Indonesia.

Pekerjaan rumahnya, siapa pemangku kepentingan dan bagaimana mengakarrumputkan perlindungan anak ke segenap komponen masyarakat hingga unit terkecilnya, yakni keluarga?

Apabila Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo dijadikan sebagai pedoman, otoritas penegakan hukum berada di garda terdepan perlindungan anak. Itu merupakan konsekuensi karena berdasarkan Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental, program menjadikan rumah dan sekolah sebagai basis penciptaan lingkungan nirkekerasan dan ramah anak ditempatkan di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

Meski demikian, perlu dipahami bersama bahwa perlindungan anak pada kenyataannya tidak melulu urusan menangkal predator seksual. Perlindungan anak bukan ihwal kejahatan saja. Dengan kata lain, urusan ini tidak terkunci sebagai isu politik, hukum, dan keamanan semata. Perlindungan anak meliputi masalah-masalah yang jauh lebih luas lagi, seperti akta kelahiran, pemberian imunisasi, pencegahan pernikahan dini, pertahanan menghadapi orientasi seksual menyimpang (LGBT), dan pencegahan perekrutan anak oleh kelompok kekerasan.

Persoalan Multidimensional

Perlindungan anak ialah pencurahan upaya menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk merealisasikan hak-hak anak. Menjadi jelas, dengan cakupan persoalan multidimensional seperti ini, niscaya tidak realistis bila lembaga penegakan hukum seperti kepolisian menjadi aktor tunggal. Jumlah personel kepolisian juga memberikan alasan bagi perlunya perlibatan pemangku kepentingan lain guna menyukseskan program pengakarrumputan perlindungan anak.

Gambarannya seperti ini. Sampai sekarang, unit kerja perlindungan anak di institusi Polri baru ada sampai di tingkat kabupaten/kotamadya, yaitu kepolisian resor (polres). Data laman resmi Polri, jumlah polres se-Indonesia hampir lima ratus satuan. Apabila aparat Polri di tingkat desa atau kelurahan juga dapat diandalkan untuk melaksanakan kerja perlindungan anak, per tahun 2015 terdapat 62 ribu petugas Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas).

Pada tahun yang sama, terdapat 80-an ribu desa di seluruh Indonesia. Jadi, hampir 20 ribu desa dan kelurahan di Indonesia seolah tak diamankan polisi yang seharusnya bertugas mengunjungi mereka secara berkala. Dalam rentang waktu yang sama, Profil Anak Indonesia pada 2015 menunjukkan anak Indonesia berumur 0—17 tahun mencapai 82,85 juta jiwa.

Satu personel Polri harus memantau seribuan anak ialah kerja mustahil. Sulit dibantah, terlalu berat kiranya memfungsikan personel Babinkamtibmas sebagai personel terdepan dalam perlindungan anak. Apalagi, sesuai sebutannya, keamanan dan ketertiban tidak hanya berkaitan dengan persoalan anak belaka. Dengan mempertimbangkan angka-angka di atas, diperlukan gagasan besar agar agenda pengakarrumputan perlindungan anak benar-benar dapat mengenai sasaran hingga unit keluarga.

Dibutuhkan kerja serius agar tidak ada lagi pintu-pintu yang tertutup rapat dan di dalamnya terdapat anak-anak yang teraniaya, dengan alasan anak ialah milik orang tua dan masalah anak ialah masalah domestik. Semakin mendesak kebutuhan akan unit kerja yang selalu siap sedia memantau kehidupan anak sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajiban mereka menjamin pemenuhan hak-hak anak.

Apalagi, karena kini sudah ada kartu anak Indonesia, perangkat tersebut bisa memaksimalkan sosialisasi pemanfaatan kartu itu bagi penyejahteraan anak hingga ke wilayah paling pelosok di Tanah Air. Untuk maksud tersebut, sejak sekitar lima tahun silam saya dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (yang saat itu masih bernama Komnas Perlindungan Anak) gencar berupaya meyakinkan masyarakat akan perlunya seksi-seksi/satgas perlindungan anak hingga ke tingkat rukun tetangga (RT).

Seksi/satgas perlindungan anak ini merupakan perluasan setelah sebelumnya masyarakat mempunyai seksi keamanan, seksi kebersihan, seksi kerohanian, seksi ketertiban, dan berbagai seksi urusan warga RT lainnya.

Sangat Potensial
Mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7/1983, rukun tetangga merupakan perkumpulan warga yang diakui dan dibina pemerintah untuk melestarikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan, serta untuk membantu meningkatkan kelancaran tugas pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di desa dan kelurahan.

Saat saya menyusun tulisan ini, http://www.data.go.id sedang dalam perbaikan. Akibatnya, jumlah resmi mutakhir RT se-Indonesia belum dapat diketahui. Terlepas dari itu, di wilayah DKI Jakarta saja per tahun 2016 terdapat 30.727 unit RT. Jika itu dijadikan asumsi, di 33 provinsi se-Indonesia terdapat tak kurang dari 1.013.991 juta RT. Itu berarti terdapat seksi perlindungan anak dalam jumlah yang sama. Sementara itu, tidak ada satu pun kementerian dan lembaga dengan penetrasi sedemikian dalam ke pelosok dan berjumlah sebanyak itu!
Seksi perlindungan anak dalam jumlah sedemikian besar tentu sangat potensial untuk diandalkan. Tidak hanya dahsyat dari segi kuantitas, secara kualitas pun seksi perlindungan anak di tingkat RT itu berisi orang-orang yang diasumsikan paling mengenal masyarakat dan dinamika kemasyarakatan di wilayah mereka masing-masing.

Kedekatan antara pengurus seksi perlindungan anak dan setiap rumah juga akan mempercepat pemberian respons-respons cepat tanggap terhadap situasi berisiko bagi anak. Melalui seksi perlindungan anak di tingkat RT inilah, kiranya slogan “melindungi anak perlu orang sekampung” dapat menemukan kenyataannya. Semoga.
Latest
Previous
Next Post »
0 Komentar