Salah Arah Pembatasan Solar

KEBIJAKAN pemerintah untuk mengendalikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mutlak diperlukan. Diperlukan karena kuota BBM bersubsidi tahun ini cuma 46 juta kiloliter (kl), turun dari 48 juta kl pada tahun lalu.

Apalagi tingkat konsumsi BBM bersubsidi, yaitu solar dan premium, sangat tinggi. Hingga Juli, persediaan premium tinggal 42% dan solar bersubsidi tinggal 40% dari kuota tahun ini. Untuk premium diperkirakan akan habis pada 19 Desember dan solar bersubsidi akan habis pada 30 November.

Jika konsumsi BBM bersubsidi tidak dikendalikan dari sekarang, bisa menimbulkan gejolak sosial di penghujung tahun ini. Karena itulah, pemerintah mengeluarkan tiga kebijakan BBM bersubsidi.

Pertama, mulai 1 Agustus, Pertamina tidak lagi menyalurkan solar bersubsidi di 26 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta Pusat. Kedua, pada 4 Agustus, Pertamina meminta semua SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali agar menjual solar bersubsidi hanya pada pukul 08.00�18.00 di cluster-cluster tertentu. Ketiga, pada 6 Agustus, SPBU di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi.

Tiga kebijakan pemerintah itu tidak berpengaruh signifikan untuk Provinsi Lampung. Kebijakan pertama hanya berlaku untuk Jakarta Pusat. Kebijakan ketiga juga tidak berpengaruh karena di Lampung belum ada jalan tol.

Provinsi Lampung terkena kebijakan kedua, penjualan solar bersubsidi hanya pada pukul 08.00�18.00. Namun, pembatasan itu untuk SPBU di cluster-cluster tertentu. Cluster-cluster itu difokuskan di kawasan industri, pertambangan, perkebunan, dan wilayah yang dekat pelabuhan, yang rawan penyalahgunaan solar bersubsidi.

Adapun SPBU di jalur utama distribusi logistik tidak diberlakukan pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi. Karena itulah, SPBU yang berada di jalan lintas barat Sumatera yang menghubungkan Provinsi Lampung dengan Provinsi Bengkulu, tepatnya di Kabupaten Pringsewu, lolos dari ketentuan itu.

Meski Lampung relatif tidak terpengaruh dengan kebijakan pemerintah terkait pengendalian BBM bersubsidi, pemerintah daerah harus tetap mewaspadai efek bola salju kebijakan tersebut. Efek tersebut terkait dampak terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok dan kenaikan tarif angkutan umum. Pemerintah daerah harus memastikan tidak ada pengusaha nakal di daerah ini yang ingin bermain di air keruh.

Harus tegas dikatakan tiga kebijakan pemerintah itu hanya penyelesaian coba-coba atas persoalan BBM subsidi yang selama ini tidak tepat sasaran. Itu kebijakan salah arah karena penikmat subsidi energi (BBM dan listrik) yang mencapai Rp350 triliun hingga Rp400 triliun per tahun justru orang-orang kaya.

Penyelesaian yang bersifat permanen dan benar ialah subsidi atas energi fosil dicabut, pemerintah beralih ke energi baru dan terbarukan. Lampung yang kaya energi baru dan terbarukan bisa memulainya. n

Previous
Next Post »
0 Komentar