Merajut Kembali Lampung

PROVINSI Lampung ibarat tenunan beragam motif yang dirajut bersama. Keindahan dan keluhuran tenunan itu dirajut di atas keragaman. Karena itu, jangan membiarkan kekerasan atas nama apa pun yang berusaha mengoyak tenunan kebersamaan tersebut.

Kita prihatin, sangat prihatin, karena kekerasan selalu datang silih berganti di Sai Bumi Ruwa Jurai ini. Selalu ada ruang gelap yang memicu kekerasan di tengah keindahan dan keluhuran kemajemukan Lampung.

Lebih memprihatinkan lagi, kekerasan di dua tempat berbeda justru pecah di tengah kesejukan suasana Idulfitri pada Rabu (30/7). Pertama, sekitar 500 orang dari Pekon Karangagung menyerang dan membakar tujuh rumah warga Pekon Sukaraja, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus. Pemicunya karena salah satu warga Pekon Karangagung tewas dianiaya massa pada saat yang bersangkutan tertangkap mencuri motor.

Kedua, nyaris terjadi tawuran antarwarga Dusun 2A dengan Dusun 5B, Desa Way Galih, Kecamatan Tanjungbintang, Lampung Selatan. Suasana pun mencekam dipicu balas dendam atas pembacokan warga.
                                                         www.lampost.co
Mengapa warga mudah tersulut melakukan kekerasan? Kekerasan sesungguhnya merupakan salah satu perilaku primitif manusia yang langgeng. Itu artinya, lepas dari segala sifat luhurnya, manusia memiliki kodrat hewani yang tertanam jauh di dalam dirinya.

Secara teoritis disebutkan kodrat hewani itulah yang memungkinkan manusia lepas dari semua sebab ekonomi dan politis, berubah, berkumpul sebagai massa, dan bertindak kejam terhadap manusia lainnya. Perilaku primitif itulah yang dipertontonkan dalam dua kasus kekerasan di Lampung.
Harus selalu diingat kekerasan itu menular. Pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Tidak ada cara lain, pelaku kekerasan harus dihadapkan di muka hukum. Ganjar pelaku kekerasan dengan hukuman yang amat menjerakan. Hanya itu cara beradab melawan perilaku primitif.

Jujur dikatakan Lampung gagal memanfaatkan momentum ibadah puasa
Ramadan untuk mengendalikan perilaku primitif warga. Disebut gagal karena ukuran keberhasilan bila konsisten mengendalikan perilaku primitif di hari-hari selanjutnya. Tindakan kekerasan pecah hanya tiga hari setelah Idulfitri.

Masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan seandainya ada kesadaran penuh untuk membangun etika sosial yang berlandaskan pada persaudaraan, kedamaian, kerukunan, dan toleransi. Etika sosial itu buah yang bisa dipetik dari makna Idulfitri.

Etika sosial itu hendaknya disemaikan dan ditumbuhkembangkan di Lampung yang majemuk ini sehingga menuai rasa persaudaraan yang kuat. Rasa persaudaraan itulah yang mulai luntur sehingga mudah menyulut emosi berujung kekerasan. Patut dipertimbangkan agar para elite daerah ini memelopori penerapan etika sosial dalam keseharian mereka untuk merajut kembali Lampung yang damai.

Merajut Lampung dimaknai sebagai penguatan kembali soliditas dan keakraban relasi persaudaraan dan kekeluargaan. Ia juga dibangun di atas kesadaran bahwa nilai itu tidak bisa dikalahkan oleh kekerasan. (n)

Previous
Next Post »
0 Komentar