Pelonco Berujung Penjara



PERPELONCOAN, terlebih disertai kekerasan, amat jauh dari proses dan tujuan pendidikan. Pendidikan sejatinya membebaskan. Namun, pendidikan tinggi di Republik ini celakanya justru kerap memasung peserta didik dalam kedok jeruji disiplin yang disertai kekerasan di luar batas nalar.

Lebih celaka lagi, kekerasan di lingkup pendidikan tinggi itu silih berganti terjadi hingga berujung maut. Terhitung sejak Maret 2000 hingga Januari 2015, setidaknya terjadi sepuluh kasus kekerasan berujung maut. Jika ditelisik lebih jauh ke belakang, jumlahnya pasti lebih banyak lagi.

Di Lampung, kasus kekerasan di lingkungan kampus juga kerap terjadi meski tidak berujung maut. Kekerasan terjadi terutama pada pelaksanaan program orientasi perguruan tinggi (propti) mahasiswa baru. Tahun lalu, Lampung dihebohkan praktik perpeloncoan di Fakultas Teknik Universitas Lampung.

Atas kasus tersebut, Rabu (10/8/2016), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang memvonis bersalah tiga mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Lampung. Mereka terbukti menganiaya korban Reky Rifiano pada pelaksanaan propti bagi mahasiswa baru angkatan 2015 lalu.

Maraknya perpeloncoan menunjukkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 38/2000 yang melarang kekerasan pada ajang propti terbukti tidak manjur. Program yang sejatinya mengenalkan dunia kampus kepada mahasiswa baru itu menjadi petaka akibat ulah segelintir oknum mahasiswa senior.

Dalih para senior memelonco ialah menegakkan kedisiplinan dengan memberikan hukuman fisik. Dalih itu harus ditolak mentah-mentah. Dalih itu sangat melecehkan kampus sebagai lembaga pencetak kaum intelektual. Perpeloncoan hanya menciptakan tradisi buruk dalam kampus sehingga harus dihapus.

Oleh karena itu, pada masa orientasi mahasiswa tahun ajaran baru September mendatang, tidak hanya bagi Universitas Lampung, seluruh kampus di provinsi ini harus mengantisipasi terjadinya perpeloncoan. Jangan sampai praktik kekerasan kembali terulang dan memakan korban berikutnya.

Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang sepatutnya menjadi peringatan keras bagi seluruh mahasiswa senior di kampus untuk tidak meneruskan budaya balas dendam tahunan ini kepada junior barunya. Dengan begitu, spiral kekerasan di lingkungan kampus dapat diputus untuk selamanya. �

Namun, mengandalkan kesadaran para mahasiswa senior saja tidak cukup lantaran mereka yang menjadi pelaku perpeloncoan biasanya juga korban perpeloncoan pada tahun sebelumnya. Pihak kampus harus menciptakan aturan ketat dan memberi sanksi keras bagi para pelaku vandalisme di kampus.

Kita semua harus belajar lebih dari banyaknya kasus kekerasan yang dibungkus dalam kegiatan propti. Pihak kampus harus mengontrol mahasiswanya. Propti dan semacamnya harus benar-benar menjadi sarana beradaptasi mahasiswa baru. Bukan zamannya propti sebagai ajang balas dendam. n

sumber :https://goo.gl/AGudNz
Previous
Next Post »
0 Komentar