Upeti Proyek


 
KONGKALIKONG dalam proyek-proyek pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Siapa menabur, dia yang akan menuai; dalam bahasa lugas siapa yang berani memberi upeti (fee) paling tinggi kepada pejabat, dialah yang akan mendapatkan proyek pemerintah.

Tidak terlalu penting apakah proyek tersebut akan digarap sendiri atau dijual kembali kepada pihak ketiga, upeti menjadi kelaziman bahkan hukum tidak tertulis. Budaya upeti sejak lama telah berurat akar di lingkungan legislatif dan birokrasi. Di zaman Orde Baru dulu lebih dikenal dengan sebutan ten percent, tetapi saat ini persentasenya lebih tinggi dari itu.

Dalam skala nasional, para terdakwa kasus Hambalang mengungkapkan semua budaya upeti tersebut secara terbuka. Perusahaan BUMN, misalnya, wajib menyetorkan fee 15%�18% kepada anggota DPR yang mengegolkan sebuah proyek pemerintah. Upeti kepada perusahaan swasta lebih tinggi, sekitar 22%�23%. 

Dalam kasus berbeda, terpidana anggota DPR yang mengusahakan proyek di Kementerian Pendidikan Nasional terbukti meminta fee 5%�7%. Jumlah itu khusus untuk pengamanan di DPR dan tidak termasuk berbagai potongan lainnya. Lelang proyek secara elektronik hanya mempersempit celah kecurangan, tetapi belum mengubah perilaku culas.

Tradisi upeti juga sudah menjadi budaya di daerah. Bukan hal baru jika proyek pemerintah di daerah menjadi lahan garapan, mulai dari legislatif, birokrasi, dan kalangan lain yang berusaha masuk dan mencari rezeki. 

Semua kegiatan ilegal itu tidak mudah dibuktikan oleh masyarakat awam, tetapi dampaknya sangat terasa. 
Dampak paling jelas adalah jebloknya kualitas pekerjaan akibat terpangkasnya volume proyek. Proyek jalan raya yang diperkirakan bisa awet hingga dua tahun hanya bertahan satu tahun. Di beberapa lokasi, aspal jalan langsung tergerus setelah diguyur hujan. Di sejumlah daerah, gedung sekolah ambruk beberapa bulan setelah dibangun. Kondisi cuaca bisa dijadikan dalih, salah konstruksi bisa dijadikan alasan, tetapi maraknya budaya korupsi sulit terbantahkan.

Dalam kaitan itulah, kita menyambut gembira tekad Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo menolak aksi suap-menyuap dalam pelaksanaan proyek daerah. Gubernur berkomitmen membangun transparansi proyek. 

Transparansi menjadi sangat penting mengingat nilai proyek pemerintah di Lampung cukup besar. Untuk pembangunan infrastruktur saja, misalnya, Pemprov Lampung mengalokasikan anggaran perbaikan jalan sebesar Rp128 miliar dalam APBD Perubahan 2014.

Langkah awal transparansi anggaran bisa dimulai dengan meniadakan fee proyek yang berpotensi mengurangi volume pekerjaan. Langkah kedua dengan memasang plang proyek, persyaratan yang selalu diabaikan kontraktor. Berikutnya, membuka dokumen proyek kepada semua pihak yang membutuhkan, sepanjang tidak terkait dengan rahasia negara. 

Apa yang terjadi selama ini, pihak eksekutif dan legislatif berusaha menyembunyikan dokumen proyek dan menganggap seperti rahasia negara. Padahal, seluruh proyek pemerintah berada di wilayah publik dan berhak diketahui publik. Proyek pemerintah tidak termasuk wilayah privat pejabat tertentu. Transparansi proyek harus dimulai dari kesadaran bahwa seluruh anggaran pemerintah dibiayai rakyat. (n)

Previous
Next Post »
0 Komentar