Pesangon DPRD Legalkan Korupsi


ANGGOTA DPRD periode 2009�20014 masa jabatannya berakhir bersamaan dengan pelantikan anggota DPRD periode 2014�2019. Pelantikan anggota DPRD kabupaten/kota di Provinsi Lampung yang dimulai Agustus tidak dilakukan secara serentak.

Sama seperti buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja, para anggota DPRD kini berharap-harap cemas menantikan pesangon. Mereka akan mendapatkan pesangon yang bersumber dari APBD.

Pesangon itu dibungkus dalam bahasa halus sebagai uang jasa pengabdian seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Besar pesangon bergantung masa bakti. Masa bakti sampai dengan lima tahun diberikan uang jasa pengabdian setinggi-tingginya enam bulan uang representasi.

Pesangon itu jelas menambah beban uang daerah, apalagi kemampuan daerah yang tidak sama. Bisa saja daerah dipaksa membayar pesangon yang jumlahnya melebihi APBD.
Simulasi yang dihitung Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyimpulkan daerah terpaksa mengeluarkan Rp159,5 miliar untuk pesangon dengan masa pengabdian lima tahun, enam kali uang representasi, atau setara gaji pokok kepala daerah selama lima tahun. Angka itu sangat fantastis bila dibandingkan dengan kinerja DPRD yang serbaminim.

PP 24/2004 yang merupakan hasil revisi PP 110/2000 harus dicabut karena keberadaannya melegalisasi korupsi. PP 110 yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung itulah menjadi sumber petaka bagi anggota DPRD periode 2004�2009. Pesangon yang diberikan kepada anggota DPRD 2004�2009, yang merujuk pada PP 110, dinyatakan sebagai korupsi.

Harus jujur dikatakan DPRD tidak pantas mendapatkan uang balas jasa. Berdasar hasil survei, sebagian besar rakyat merasakan kinerja para wakil rakyat di daerah masih tidak memuaskan dan jauh dari pantas untuk diapresiasi. Tugas utama anggota DPRD, yaitu membuat peraturan daerah, melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah, menyerap aspirasi masyarakat daerah, dan membuat anggaran belanja daerah, tidak menunjukkan performa yang memuaskan.

Sebagai contoh, dalam tugas legislasi, sebagian besar peraturan daerah yang dibuat atau disahkan oleh DPRD dirasakan kurang mencerminkan aspirasi masyarakat. Apalagi terkait fungsi kontrol terhadap pemerintahan daerah. Sulit untuk menampik persepsi hak-hak Dewan digadaikan.

Mestinya para wakil rakyat itu bisa mengukur apakah mereka sudah bekerja habis-habisan untuk rakyat sehingga layak diganjar dana purnabakti. Mereka lebih sibuk menuntut tegaknya peraturan yang menguntungkan diri sendiri, tetapi alpa mengevaluasi kinerja diri sendiri.

Sebaliknya, pemerintah daerah di Provinsi Lampung harus berani bersikap tegas menolak tuntutan anggota Dewan terkait dengan pengayaan pundi-pundi pribadi. Uang purnabakti baru layak mereka terima jika mereka telah membuat terobosan baru bagi terciptanya kesejahteraan rakyat di daerah ini. Sangat tidak elok wakil rakyat menikmati uang berlimpah di tengah kemelaratan rakyat.

APBD harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan memakmurkan para wakil rakyat yang segera berakhir kontrak politik lima tahun. n

Previous
Next Post »
0 Komentar