Amburadul KTP-El

BURUKNYA administrasi negara, termasuk administrasi kependudukan, masih menjadi persoalan besar di negara ini. Buruk dalam pengaturan, buruk dalam pendataan, buruk dalam pencatatan, buruk pula dalam pemutakhiran data.

Padahal, data kependudukan itu sangat penting dalam rangka memenuhi hak-hak warga. Kartu tanda penduduk elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, salah wujud data kependudukan. KTP-el, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, merupakan identitas resmi bukti domisili penduduk.

Sebagai bukti diri penduduk yang resmi, KTP-el yang berlaku seumur hidup itu bisa dipakai mengurus kepentingan yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan, kepentingan pelayanan publik di instansi pemerintah daerah, lembaga perbankan, dan swasta yang berkaitan dengan dan tidak terbatas pada perizinan, usaha perdagangan, jasa perbankan, asuransi, perpajakan, dan pertanahan.

Administrasi negara yang buruk itu menyebabkan belum semua penduduk memiliki KTP-el, termasuk di Provinsi Lampung. Masih banyak warga mengantongi KTP nonelektronik yang masa berlakunya tinggal empat bulan lagi, hingga 31 Desember 2014.

Menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar Lampung, sebanyak 26.146 warga telah melakukan perekaman KTP-el sejak April. Akan tetapi, hingga kini belum satu pun KTP-el yang dicetak Kementerian Dalam Negeri. Akibatnya, Dinas Kependudukan mengambil kebijakan untuk memperpanjang KTP nonelektronik. Dalam sehari bisa 272 keping KTP nonelektronik.

Kasus yang sama terjadi di seluruh kabupaten/kota se-Lampung. Di Kabupaten Tulangbawang, misalnya, terhitung sejak Juni, sudah 5.072 KTP nonelektronik diterbitkan sambil menunggu proses pencetakan KTP-el.

Kekacauan pencetakan KTP-el bersumber dari kerancuan perundangan. Biaya pembuatan KTP-el diambil dari APBNP 2014 yang sudah disahkan pada pertengahan Juni. Mestinya, tidak ada lagi pendala pembiayaan pembuatan e-KTP bila pemerintah tertib administrasi.

Administrasi kependudukan mestinya bukan kewenangan Pemerintah Pusat, cukup menjadi domain pemerintah daerah sesuai semangat otonomi daerah. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang diatur suka-suka itu, urusan cetak dan distribusi blangko dokumen kependudukan diakui sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Tidak ada alasan yang sangat kuat untuk membenarkan urusan blangko KTP-el mesti dimuat dalam undang-undang sebagai urusan yang sangat luar biasa. Atau, karena cetak serta distribusi blangko menjadi urusan yang rumit, sehingga perlu diambil sebagai urusan Pemerintah Pusat. Kita hanya memahami bahwa urusan KTP-el yang dibiayai APBN tidak lebih sebagai proyek yang menggiurkan.

Lebih menyedihkan lagi, Pemerintah Pusat lebih percaya swasta daripada pemerintah daerah. KTP-el dicetak oleh perusahaan swasta padahal data penduduk seharusnya menjadi daulat negara.

Harus jujur dikatakan mendata dan mengelola jumlah penduduk yang demikian besar sudah tentu membutuhkan tingkat ketertiban dan keakuratan administrasi kependudukan yang tinggi yang hanya dapat dipenuhi birokrasi pemerintahan dalam negeri yang profesional. Sayangnya, profesionalitas itu yang belum tampak dalam amburadul pembuatan KTP-el. n

Previous
Next Post »
0 Komentar