Perlawanan Birokrasi

TIDAK ada kekuasaan dunia yang tidak bertepi. Semua otoritas selalu dibatasi oleh sistem pengawasan yang berkaitan satu sama lain. Dalam sistem ketatanegaraan, kita mengenal check and balances agar tidak ada satu lembaga pun yang merasa paling superior.

Dalam tatanan kemasyarakatan, sistem pengawasan diakomodasi dalam berbagai produk hukum dan peraturan. Setiap warga negara yang merasa dirugikan pihak tertentu memiliki hak untuk menggugat dan melaporkan kepada penegak hukum. Kelak, mekanisme hukum akan memutuskan apakah gugatan tersebut hanya rekayasa atau sebaliknya.

Perkara gugatan itu pula yang sedang diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Lampung. Ngat Emi (50), seorang pegawai negeri sipil, menggugat wali kota dan kepala Dinas Pendidikan Bandar Lampung ke PTUN. (tajuk lampung post)

Ia menilai pemutasiannya dari kepala SDN 1 Palapa, Tanjungkarang, menjadi kepala SDN 1 Kedaton bertentangan dengan empat peraturan sekaligus: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28/2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah, Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Langkah Ngat Emi menggugat kepala daerah ke PTUN termasuk tindakan berani. Itulah bukti perlawanan aparatur birokrasi melawan pejabat politik yang sering mengobrak-abrik struktur birokrasi sesuai selera. Ngat Emi memiliki pengalaman panjang mengabdi sebagai PNS fungsional. Tentu saja ia menggugat dengan sejumlah argumentasi hukum yang kuat.

Masyarakat sering mendengar perombakan atau mutasi jabatan dilakukan atas dasar setoran, hubungan kekerabatan, atau unsur kedekatan lain. Banyak pejabat yang merasa menjadi korban cuma berani kasak-kusuk di belakang, tetapi hanya Ngat Emi yang berani melawan di depan.

Namun, ada harga yang harus dibayar. Sejak dimutasi hingga proses persidangan, ia mengaku mendapat teror dan intimidasi dari orang-orang tidak dikenal melalui telepon seluler. Sekali waktu, si penelepon memastikan Ngat Emi tidak bakal menang di pengadilan karena hanya orang kecil, sedangkan pihak tergugat adalah orang kuat yang memiliki kerabat berpangkat jenderal.

Pengakuan Ngat Emi tersebut disampaikan beberapa kali secara terbuka dalam persidangan di PTUN. Sebelum sampai ke teror fisik, sebaiknya Ngat Emi melaporkan ancaman tersebut kepada pihak berwajib. Jika Ngat Emi mengungkapkan hal yang sama di setiap persidangan, publik akan menduga teror dan intimidasi tersebut hanya mengada-ada. Itu juga sebagai bentuk penghormatan terhadap fakta persidangan. Banyak kasus besar terungkap dari fakta persidangan.

Keberanian Ngat Emi mengajukan gugatan hukum terhadap kebijakan kepala daerah memberi perspektif baru bagi dunia birokrasi di Bumi Ruwa Jurai ini. Hal itu juga membuktikan tidak seluruh kebijakan kepala daerah bisa diterima dengan baik di kalangan birokrasi profesional.

Seorang kepala daerah menjadi penguasa paling lama hanya 10 tahun, tetapi PNS akan bekerja sebagai abdi negara hingga masa pensiun. Itulah dilema PNS; berikrar menjadi abdi negara, tetapi pada saat yang sama harus tunduk kepada kepala daerah. Ngat Emi memilih yang pertama dengan segala risiko. n

Sumber : https://goo.gl/efXTMe
Previous
Next Post »
0 Komentar