LP Cabut Nyawa



PEMIDANAAN tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, bukan pula bertujuan jera dengan penderitaan, apalagi sampai menyetorkan nyawa. Karena itulah, dengan kesadaran penuh, negara mengganti penjara dengan sebutan lembaga pemasyarakatan (LP).

Sistem pemasyarakatan, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.

Harus jujur diakui bahwa sistem pemasyarakatan yang ideal itu masih jauh dari kenyataan. Ada jurang pemisah antara tujuan pemasyarakatan dan fakta sehari-hari.
Ada yang menyindir LP sebagai pendidikan tinggi narkoba. Seorang pemakai narkoba akan meningkat keahliannya menjadi pengedar setelah selesai berguru dalam bui. Lebih hebat lagi, penghuni LP bisa menjadi produsen andal bahkan berpofesi sebagai pengatur peredaran narkoba di luar LP.    (Tajuk Tampung Post)

Masih ada sebutan lain, yaitu LP sebagai lembaga pencabut nyawa, seperti yang terjadi di LP Gunungsugih, Lampung Tengah. Tiga tahanan titipan kejaksaan, saat hampir bersamaan pada Juli 2014, meninggal dunia.

Versi resmi LP Gunungsugih menyebutkan tiga tahanan itu�Joni, Sugeng, dan Tobroni�meninggal dunia karena sakit. Penjelasan resmi itu tentu saja sulit diterima akal sehat.

Mungkinkah tiga orang itu terjangkit wabah yang sama sehingga meninggal dunia pada saat hampir bersamaan? Jika benar seperti itu, mengapa hanya tiga tahanan titipan yang terjangkit wabah dan mengapa tahanan lain tidak terjangkit sakit yang sama?
Informasi yang kini beredar luas di masyarakat ialah tiga tahanan itu tewas akibat mendapatkan pemukulan di LP Gunungsugih. Satu korban pemukulan lainnya masih dirawat di sebuah rumah sakit.

Tragedi Gunungsugih harus diusut tuntas. Informasi yang beredar luas di masyarakat itu mesti diverifikasi kebenarannya. Ada dua cara untuk melakukan verifikasi. Pertama, pihak kepolisian mengambil alih kasus tersebut.

Korban tewas sebaiknya diautopsi untuk divisum. Kedua, dibentuk tim independen untuk mengusut kematian tiga tahanan tersebut. Pembentukan tim independen sangat diperlukan karena kuat kesan bahwa kasus itu ditutup-tutupi. Bila perlu Komnas HAM dipersilakan mengusut kasus tersebut.

Pengusutan tragedi Gunungsugih tidak bisa diserahkan ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Lampung. Alasannya, pejabat setempat terkesan melakukan pembiaran sehingga hanya memberi teguran lisan kepada pihak Kepala LP Gunungsugih.

Sistem pembinaan pemasyarakatan LP Gunungsugih harus dikembalikan pada asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Dengan mengedepankan asas praduga tidak bersalah, tiga tahanan yang dititipkan di LP Gunungsugih itu belum terbukti bersalah. Mereka cuma dititipkan, bukan untuk setor nyawa. n

Sumber : https://goo.gl/afNpns
Previous
Next Post »
0 Komentar