Menuju Pilkada 2018 (Catatan Pilkada Lampung 2017)

DALAM konteks perkembangan penerapan demokrasi, dalam perspektif pemilihan kepala daerah, merupakan drama yang memiliki episode-episode kontekstual dengan dinamika politik dalam transisi demokrasi di Indonesia (Hoesein dan Yasin, 2015). Hal ini terkait dengan banyaknya varian pilihan penerapan demokrasi sebagai bagian dari dinamika politik yang berbanding lurus dengan kondisi dinamis, baik di dalam negeri maupun dalam tataran global.

Pada masa transisi dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan yang demokratis akan selalu ditandai dengan adanya liberalisasi dan demokratisasi dalam segala bidang, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Di sisi lain, secara sederhana dan bebas, demokrasi dapat didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan. Formulasi kebijakan, secara langsung atau tidak, amat ditentukan suara mayoritas warga masyarakat yang memiliki hak suara melalui wadah pemilihan (Leo Agustino, 2014).

Demikian halnya dalam hal rekrutmen pejabat politik pada tingkat lokal atau daerah yang juga dapat dilakukan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Rekrutmen politikus lokal dilakukan fair melalui seleksi ketat yang dilakukan masyarakat melalui lembaga-lembaga yang ada dengan syarat representatif (Wahyudi dan Saleh, 2013).

Pelaksanaan pilkada merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan pengakuan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang merupakan salah satu ciri dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Meskipun hingga kini pilkada masih banyak dinilai hanya menerapkan demokrasi prosedural di daerah, satu hal yang tidak dapat diabaikan adalah keberhasilan pilkada dengan segala kekurangannya telah mampu melakukan sirkulasi wajah kekuasaan di Indonesia, khususnya di daerah, dari formasi yang homogen dan monolitik ke arah kekuasaan yang lebih variatif dan plural.

Pilkada Serentak
Demikian halnya dengan pelaksanaan pilkada serentak yang sudah dimulai semenjak 2015 dan akan memasuki tahun ke-3 pada 2018. Sejatinya tidak dapat dikatakan serentak karena tidak melibatkan semua kabupaten/kota dan provinsi se-Indonesia yang sejatinya akan dilaksanakan secara nasional pada 2027. Namun, jadwal pilkada kabupaten/kota dan provinsi yang berdekatan diajukan berbarengan tanpa mengurangi masa jabatan kepala daerah yang lama.

Pada 2017, Provinsi Lampung melaksanakan hajat lima tahunan dengan melakukan pilkada bersama di lima kabupaten yaitu Mesuji, Tulangbawang Barat, Tulangbawang, Pringsewu, dan Lampung Barat. Hasil dari pilkada bersamaan di lima kabupaten tersebut tidak terlalu mengagetkan publik Lampung. Namun, ada beberapa daerah yang patut menjadi catatan penulis, yaitu untuk Tulangbawang Barat dan Tulangbawang.
Tulangbawang Barat adalah satu dari sekian kabupaten yang melaksanakan pilkada dengan calon tunggal. Dalam artian, pasangan Umar Ahmad dan Fauzi Hasan tidak mendapatkan lawan sehingga dilawankan dengan kotak kosong. Untungnya, hasil dari pilkada dengan calon tunggal di Kabupaten Tulangbawang Barat adalah 95,9% pemilih menyatakan setuju, sedangkan sisanya 4,1 persen tidak setuju.

Bagaimana jika kejadian seperti di Kabupaten Pati, calon tunggal yang diusung oleh delapan partai politik harus kalah melawan kotak kosong. Akhirnya, Pilkada Pati harus diulang sampai munculnya bupati terpilih.
Keberhasilan pilkada calon tunggal di kabupaten Tulangbawang Barat ini patut menjadi catatan. Pertama, gagalnya partai politik melaksanakan fungsi partai politik yang salah satunya adalah mengusung kadernya sendiri melawan petahana, sehingga mengakibatkan partai politik menggadaikan kendaraannya kepada petahana yang berujung munculnya calon tunggal.

Kedua, keberhasilan pembangunan di Tulangbawang Barat oleh pasangan petahana menyebabkan calon-calon lain mengundurkan diri walau hanya untuk calon independen. Hal ini hampir sama kasusnya dengan di Kota Surabaya, saat keberhasilan Risma membangun Kota Surabaya menjadikannya wali kota dua periode berturut-turut dengan kemenangan angka yang cukup mutlak dengan pesaingnya.

Berikutnya yang juga tidak kalah untuk menjadi catatan bagi kepala daerah petahana yang akan maju lagi pada Pilkada Serentak 2018 adalah kejadian yang menimpa Kabupaten Tulangbawang. Pasangan petahana Hanan A Rozak dan Heri Wardoyo dengan total suara 45,14% dipaksa mengakui kemenangan Winarti-Hendriwansyah yang mendapatkan dukungan suara sebesar 47,65%. Selisih suara yang cukup jauh ini tidak cukup untuk pasangan petahana melakukan permohonan pilkada ulang ke MK.

Kemenangan Winarti-Hendriwansyah ini patut juga menjadi catatan akhir tahun 2017. Pertama adalah Winarti-Hendriwansyah berhasil menarik simpati masyarakat Tulangbawang dengan janji-janji kampanyenya. Hal ini didukung dengan kegagalan pemerintahan Hanan A Rozak-Heri Wardoyo dalam melakukan perubahan di Tulangbawang, khususnya dalam hal pembangunan. Hal ini tampak sekali jika dibandingkan dengan kabupaten tetangganya, yaitu Tulangbawang Barat. Meskipun kabupaten pecahan, kemajuan pembangunan di Tulangbawang Barat lebih nyata dibandingkan di Tulangbawang.

Kedua adalah faktor Winarti sendiri sebagai seorang legislator perempuan yang mampu menarik suara ibu-ibu dan kaum perempuan untuk memilih dia. Keberhasilan Winarti ini yang tidak dapat disamai oleh Dewi Arimbi dan Siti Rahmah pada Pilkada Pringsewu. Maka itu, jadilah Winarti sebagai kepala daerah perempuan kedua di Provinsi Lampung setelah Chusnunia Chalim sebagai bupati Lampung Timur. Sekarang kita tinggal menunggu apakah Winarti dapat merealisasikan janji-janjinya untuk memajukan Tulangbawang. Sebab, kalau tidak dan bahkan prestasi kerjanya sama dengan pendahulunya, bukan tidak mungkin di pilkada berikutnya tidak akan terpilih lagi.

Tunjukkan Kinerja

Berdasarkan hal tersebut dan menyambut tahun politik pada 2018, yang akan dilaksanakan dua pemilihan bupati dan wakil bupati, yaitu di Tanggamus dan Lampung Utara dan satu pilihan gubernur, yang berlanjut pada 2019 pemilihan legislatif baik pusat dan daerah berbarengan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah baik baru maupun petahana harus belajar kepada dua daerah tersebut.

Bagi petahana, jika ingin terpilih kembali, tidak ada lagi syaratnya selain menunjukkan kinerja nyata berupa pembangunan di segala bidang kepada rakyat pemilih. Bagi lawan, dapat mencari hal-hal yang tidak sempat dikerjakan pasangan petahana dengan belajar kepada kasus Winarti-Hendriwansyah. Winarti selain dapat menunjukkan kegagalan pasangan petahana dalam pembangunan sosok, dia sebagai perempuan dapat menarik hampir 40% suara perempuan dan ibu-ibu untuk memilihnya. Hal ini sudah terbukti dalam Pilkada Kabupaten Pesisir Barat, Lampung Timur, dan yang terbaru Tulangbawang. Jadi, jangan abaikan suara pemilih perempuan! Selamat tahun baru 2018. Mari kita songsong tahun politik dengan santun dan demokratis.
Previous
Next Post »
0 Komentar