Pilkada dan Negeri Para Komedian

TAHUN 2018, Indonesia punya perhelatan besar, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Pilkada itu akan melibatkan 17 pemilihan gubernur, 115 pemilihan bupati, dan 39 pemilihan wali kota. Meski sebuah rutinitas, pilkada kali ini tetap menarik tidak saja karena pertama kali serentak dilakukan, tetapi juga lantaran setiap era pemilihan mempunyai keunikan sendiri-sendiri.

Berbagai cara pun telah dan akan dilakukan kandidat agar dipilih masyarakat luas. Namun, semua kandidat cenderung berorientasi pada cara bagaimana mereka dikenal, bukan pada apakah yang dilakukannya benar sesuatu aturan, etis atau tidak. Jika cara-cara pengenalan kandidat itu tidak ada aturan, saya yakin pelanggaran demi pelanggaran kian tumbuh subur. Ada aturan saja dilanggar, apalagi jika tidak ada aturan.

Artikel ini tidak akan masuk dalam wilayah apakah yang dilakukan para kandidat itu melanggar aturan atau tidak karena itu masuk wilayah hukum. Tulisan ini akan menyoroti proses komunikasi politik yang dilakukan para kandidat, baik melalui baliho, spanduk, iklan, pernyataan, ataupun media komunikasi lain yang digunakan untuk mengenalkan mereka. Ini sangat penting dianalisis agar masyarakat tidak terbuai dengan sesuatu yang tampak, apalagi memang pilkada itu sarat kepentingan.

Inti Komunikasi
Selama ini ada salah kaprah (misperception) yang diyakini kebenarannya. Salah kaprah ini telah membuat seseorang sering salah memahami inti komunikasi yang dilakukan orang lain. Akibatnya, inti pesan sesungguhnya tidak bisa dipahami dengan benar dan buntutnya tidak memahami konteks sebenarnya dari sebuah pesan yang disampaikan.

Salah kaprah itu di antaranya seseorang percaya begitu saja terhadap apa yang dikatakan secara lisan pada orang lain. Begitu juga, orang percaya dengan informasi yang ada pada iklan dan media luar ruangan. Jika itu menyangkut persoalan politik, memahami informasi di balik sesuatu yang tampak tersebut sangat penting dilakukan.

Dengan demikian, pesan sesungguhnya juga ada pada sesuatu yang tidak dikatakan. Jika seseorang senang mengobral pembicaraan ke sana-ke mari, belum tentu itu pesan sesungguhnya yang akan disampaikan. Jika orang ingin akurat menangkap pesan, dalam benaknya harus ada dugaan sebaliknya. Inti pesan komunikasi sering ada pada penyataan yang tidak disampaikan.

Jika seorang kandidat mengatakan A, sebenarnya pesan yang ingin disampaikan sesungguhnya bisa jadi bukan A. Artinya, jika seorang kandidat mengatakan akan mencanangkan SPP gratis untuk sekolah menengah, harus dipahami jangan-jangan tidak sebagaimana yang dikatakan.

Apa yang diungkapkan di sini bukan bermaksud “kampanye terselubung” agar masyarakat tidak berpartisipasi dalam pilkada. Maksud sebenarnya adalah memberikan pelajaran penting bagi masyarakat untuk tidak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan kandidat. Dalam hal ini masyarakat tetap perlu melihat rekam jejak dan latar belakang kandidat yang dipilih.

Tentu saja imbauan tersebut tidak berlaku bagi mereka yang punya prinsip “pokoknya” atau “situ kasih uang, saya kasih suara”. Orang-orang seperti ini kebanyakan tidak peduli dalam upaya membangun sistem yang lebih baik. Dengan kata lain, mereka berpikiran jangka pendek. Namun, mereka ini seolah merasa menjadi pahlawan untuk protes pada pemerintah atau kandidat terpilih jika pemerintah atau kandidat terpilih itu melakukan kesalahan. Para pasukan ini protes karena kandidat pilihannya kalah.

Maka itu, agar tidak kecewa pahami bahwa inti komunikasi itu adalah apa yang tidak dikatakan atau dikemukakan secara kasat mata. Ini berlaku dalam Pilkada Serentak 2018.

Negeri Para Komedian
Apakah Anda pernah mengamati para komedian? Coba disimak lebih jeli. Para komedian atau yang mengklaim dirinya komedian selalu punya tujuan menghibur. Apa pun akan dilakukan, yang penting bisa menghibur. Termasuk di sini adalah apakah yang dikatakannya itu benar atau tidak bukan soal, yang penting menghibur. Tujuannya saja menghibur, bukan?

Klaim masyarakat bahwa dirinya seorang komedian itu mengonstruksi pikiran dan perilakunya bahwa dirinya hadir di tengah masyarakat juga harus bisa menghibur. Alasannya, masyarakat sudah telanjur memberikan klaim sebagai dirinya sebagai komedian. Ia akan “mati gaya” jika tidak mencerminkan dirinya sebagai penghibur itu.

Konstruksi demikian ternyata terbawa pada perilaku sehari-hari. Terhadap masalah yang serius pun ia bisa menghibur tentu saja dengan bumbu-bumbu dramatisasi sekadarnya. Sebagai masyarakat umum, tentu harus dipahamkan bahwa komedian itu sedang acting meskipun tidak ada dalam panggung. Bisa jadi, asumsi ini tidak benar, tetapi tidak seratus persen salah.

Apa pelajaran yang bisa kita petik? Anggap saja negeri ini adalah negeri para komedian. Anggap saja tidak banyak kandidat yang tulus untuk mengubah persoalan negara ini. Anggapan ini perlu dikemukakan agar kita tidak kecewa jika menemukan pemimpin yang lambat dalam bekerja, mementingkan kroninya bahkan korupsi.
Apakah bisa dikatakan bahwa para kandidat itu para komedian? Saya tidak menganggapnya begitu. Namun, sikap hati-hati untuk tak terjebak pada pernyataan lisan, termasuk iklan, tetap harus dipegang teguh masyarakat. Jangan sampai, mereka terbuai dengan janji-janji kosong sementara akhirnya kecewa. Masyarakat tentu tidak mau melihat sinetron yang setiap lima tahun diulang-ulang, bukan?

Kesimpulannya, masyarakat tidak boleh lagi terjebak pada pernyataan lisan atau yang terlihat pada diri kandidat kepala daerah. Melihat di balik itu akan membuat kita bisa melihat dari berbagai sisi yang menjadikan seseorang tidak akan mudah dikecewakan. Kalau kita tidak bisa melakukan hal tersebut, anggap perhelatan pilkada adalah sebuah pentas komedi para pelaku politik.
Previous
Next Post »
0 Komentar